Sifat
seorang muslim adalah selalu taat dan patuh terhadap perintah Allah dan
Rasul-Nya. Ketika Allah melarang sesuatu, maka ia patuh. Begitu pula ketika
Rasul-Nya melarang sesuatu dengan mensifati sebagai sesuatu yang dimurkai, maka
seorang muslim pun mendengar dan menjauhi tindakan semacam itu. Di antara
bentuk duduk yang terlarang adalah sebagaimana para pembaca lihat pada gambar
di samping ini, yaitu duduk dengan meletakkan tangan kiri di belakang dan dijadikan
sandaran atau tumpuan. Berikut penjelasan mengenai hadits yang melarang hal
tersebut dan keterangan beberapa ulama mengenai hal ini.
.....
Syirrid
bin Suwaid radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah pernah melintas di hadapanku
sedang aku duduk seperti ini, yaitu bersandar pada tangan kiriku yang aku
letakkan di belakang. Lalu baginda Nabi bersabda, “Adakah engkau duduk
sebagaimana duduknya orang-orang yang dimurkai?” (HR. Abu Daud no. 4848. Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Yang
dimaksud dengan al maghdhub ‘alaihim adalah orang Yahudi sebagaimana kata Ath
Thibiy. Penulis ‘Aunul Ma’bud berkata bahwa yang dimaksud dimurkai di sini
lebih umum, baik orang kafir, orang fajir (gemar maksiat), orang sombong,
orang yang ujub dari cara duduk, jalan mereka dan semacamnya. (‘Aunul Ma’bud,
13: 135)
Dalam
Iqthido’ Shirotil Mustaqim, Ibnu Taimiyah berkata, “Hadits ini berisi larangan
duduk seperti yang disebutkan karena duduk seperti ini dilaknat, termasuk duduk
orang yang mendapatkan adzab. Hadits ini juga bermakna agar kita menjauhi jalan
orang-orang semacam itu.”
Kata
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, duduk seperti ini terlarang di dalam
dan di luar shalat. Bentuknya adalah duduk dengan bersandar pada tangan kiri
yang dekat dengan bokong. Demikian cara duduknya dan tekstual hadits dapat
dipahami bahwa duduk seperti itu adalah duduk yang terlarang. (Majmu’ Fatawa
Ibnu Baz, 25: 161)
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin menjelaskan dalam Syarh Riyadhus Sholihin, “Duduk dengan bersandar pada tangan kiri disifatkan dengan duduk orang yang dimurkai Allah. Adapun meletakkan kedua tangan di belakang badan lalu bersandar pada keduanya, maka tidaklah masalah. Juga ketika tangan kanan yang jadi sandaran, maka tidak mengapa. Yang dikatakan duduk dimurkai sebagaimana disifati nabi adalah duduk dengan menjadikan tangan kiri di belakang badan dan tangan kiri tadi diletakkan di lantai dan jadi sandaran. Inilah duduk yang dimurkai sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sifatkan.”
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin menjelaskan dalam Syarh Riyadhus Sholihin, “Duduk dengan bersandar pada tangan kiri disifatkan dengan duduk orang yang dimurkai Allah. Adapun meletakkan kedua tangan di belakang badan lalu bersandar pada keduanya, maka tidaklah masalah. Juga ketika tangan kanan yang jadi sandaran, maka tidak mengapa. Yang dikatakan duduk dimurkai sebagaimana disifati nabi adalah duduk dengan menjadikan tangan kiri di belakang badan dan tangan kiri tadi diletakkan di lantai dan jadi sandaran. Inilah duduk yang dimurkai sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sifatkan.”
Sebagian
ulama menyatakan bahwa duduk semacam ini dikatakan makruh (tidak haram). Namun
hal ini kurang tepat. Syaikh ‘Abdul Al ‘Abbad berkata, “Makruh dapat dimaknakan
juga haram. Dan kadang makruh juga berarti makruh tanzih (tidak sampai haram).
Akan tetapi dalam hadits disifati duduk semacam ini adalah duduk orang yang
dimurkai, maka ini sudah jelas menunjukkan haramnya.” (Syarh Sunan Abi Daud,
28: 49)
Jika ada yang bertanya, logikanya mana, kok sampai duduk seperti ini dilarang? Maka jawabnya, sudah dijelaskan bahwa duduk semacam ini adalah duduk orang yang dimurkai Allah (maghdhub ‘alaihim). Jika sudah disebutkan demikian, maka sikap kita adalah sami’na wa atho’na, kami dengar dan taat. Tidak perlu cari hikmahnya dulu atau berkata 'why?' 'why?', baru diamalkan. Seorang muslim pun tidak boleh sampai berkata, ah seperti itu saja kok masalah. Ingatlah, Allah Ta’ala berfirman,
Jika ada yang bertanya, logikanya mana, kok sampai duduk seperti ini dilarang? Maka jawabnya, sudah dijelaskan bahwa duduk semacam ini adalah duduk orang yang dimurkai Allah (maghdhub ‘alaihim). Jika sudah disebutkan demikian, maka sikap kita adalah sami’na wa atho’na, kami dengar dan taat. Tidak perlu cari hikmahnya dulu atau berkata 'why?' 'why?', baru diamalkan. Seorang muslim pun tidak boleh sampai berkata, ah seperti itu saja kok masalah. Ingatlah, Allah Ta’ala berfirman,
“Maka
hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan
atau ditimpa azab yang pedih” (QS. An Nur: 63). Dan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bukan atas dasar hawa nafsunya yang ia utarakan. Allah Ta’ala
berfirman,
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS. An Najm: 3-4)
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS. An Najm: 3-4)
Ibnu
Katsir berkata, “Khawatirlah dan takutlah bagi siapa saja yang menyelisihi
syari’at Rasul secara lahir dan batin karena niscaya ia akan tertimpa fitnah
berupa kekufuran, kemunafikan atau perbuatan bid’ah.” (Tafsir Al Qur’an Al
‘Azhim, 10: 281)
Wallahu
waliyyut taufiq.
Tags
: ceritakisah
islami, kisah
islam, sejarah
nabi muhammad, cerita
cerita nyata, cerita
islam, kisah
islami, kisah
cerita islam, cerita
islami, kisah
mengharukan cinta, teladan
islam, kisah
nyata islami, kisah
inspiratif islami, kisah
inspirasi islami, kisah
teladan islam, kisah
hikmah islami, cerita
nabi, kisah
kisah islami, kisah
anak islami, cerita
cerita nabi, cerita
kisah nabi, cerita
sejarah nabi, teladan
islam, kisah
teladan, kisah
islam, kata
kata mutiara, kata
mutiara mutiara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar