Bismillahir-Rahmanir-Rahim...
ADA DUA LELAKI. Keduanya adalah saudara kandung. Lahir di dalam keluarga yang taat beragama. Namun perilaku dua orang itu berbeda dan akhir hidup mereka juga berbeda.
Yang tua, sejak kecil dikenal baik, alim dan ahli ibadah. Ia tidak suka menyakiti orang lain. Tidak suka hura-hura. Tak pernah
menyentuh gelas minuman keras apalagi meminumnya. Waktu mudanya banyak
dihabiskan di masjid. Ia juga tidak suka bergaul dengan wanita yang bukan
mahramnya. Pernah ia dirayu seorang gadis cantik yang masih sepupunya, namun ia
teguh dalam keimanannya. Karena amal perbuatannya yang baik dan akhlaknya ia
dicintai oleh keluarga dan masyarakat.
Sedangkan adiknya, sangat berbeda dengan kakaknya.
Sejak kecil ia dikenal nakal. Sejak remaja sudah biasa masuk tempat maksiat.
Rumah bordil adalah tempat biasa ia mangkal. Hampir tiap hari ia mabuk dan
melakukan pelbagai macam maksiat di rumah bordil miliknya itu. Kadang-kadang ia
juga ikut gerombolan perampok, untuk merampas harta orang lain. Saat merampok
ia bahkan terkadang juga melakukan pemerkosaan. Hampir segala jenis maksiat dan
perbuatan yang menjijikan telah ia lakukan untuk memuaskan hawa nafsunya. Perbuatan
jahatnya itu membuat dirinya dibenci oleh keluarga dan masyarakat....
Suatu ketika, sang kakak yang alim dan ahli ibadah
merenung. Tiba-tiba dengan halus sekali nafsunya berkata padanya,
“Sejak kecil kau selalu berbuat kebaikan dan
beribadah. Kau telah mendapat tempat di hati masyarakat dan dikenal sebagai
orang baik. Namun kau tidak pernah merasakan nikmatnya hidup sedikitpun. Kenapa
tidak sesekali kau datang ke tempat adikmu menghibur diri di rumah bordilnya.
Sesekali saja. Setelah itu kau bisa tobat. Kau bisa membaca istighfar ribuan
kali dalam sholat tahajjud. Bukankah Allah itu Maha Pengampun ?”
Bujukan hawa nafsunya itu ternyata masuk dalam
pikirannya. Setan pun dengan sangat halus masuk melalui pori-pori dan aliran
darah. Ia berkata pada diri sendiri, “Benar juga. Kenapa aku tidak sesekali
menghibur diri? Hidup cuma sekali. Nanti malam aku mau menari dan
bersenang-senang bersama wanita cantik di rumah bordil adikku. Setelah itu aku
pulang dan bertobat kepada Allah Swt. Dia Maha Pengasih lagi Maha Pengampun.”
Sementara di rumah bordil. Adiknya juga merenung. Ia
merasa jenuh dengan hidup yang dijalaninya. Nuraninya berkata,
“Sudah bertahun-tahun aku hidup bergelimang dosa.
Bermacam maksiat telah aku lakukan. Apakah aku akan hidup begini terus? Keluarga
membenciku karena perbuatanku. Juga masyarakat, mereka memusuhiku karena
kejahatanku. Kenapa aku tidak mencoba hidup baik-baik seperti kakak. Ah,
bagaimanakah besok kalau aku telah mati. Bagaimana aku mempertanggungjawabkan
perbuatanku. Kalau begini terus kelak aku akan masuk neraka. Hidup susah di
akhirat sana. Sementara kakakku akan hidup nikmat di surga. Tidak! Aku tidak
boleh hidup dalam lembah maksiat terus. Aku harus mencoba hidup di jalan yang
lurus. Nanti malam habis maghrib aku akan ke masjid tempat kakak beribadah. Aku
mau tobat dan ikut shalat. Aku mau kembali ke pangkuan Allah Swt. Aku mau
beribadah sepanjang sisa hidupku. Semoga saja Allah mau mengampuni dosa-dosaku
yang telah lalu.”
Dan benarlah. Ketika malam datang kedua saudara itu
melakukan niatnya masing-masing. Usai shalat maghrib, sang kakak kembali ke
rumah, ganti pakaian dan bergegas menuju rumah bordil. Adapun sang adik, telah
pergi meninggalkan rumah bordil begitu mendengar suara azan maghrib. Jalan yang
diambil dua bersaudara itu tidak sama, sehingga keduanya tidak berjumpa di
tengah jalan.
Sampai di rumah bordil sang kakak mencari adiknya.
Namun tidak ada. Orang-orang yang ada di rumah bordil tidak ada yang tahu
kemana adiknya itu pergi. Meskipun adiknya tidak ada ia tetap melaksanakan
niatnya. Nafsu telah menguasai akal pikirannya. Ia pun menuruti segala yang
diinginkan nafsunya di rumah bordil itu bersama para penari dan pelacur.
Di tempat lain, sang adik sampai masjid tempat
kakaknya biasa ibadah. Ia sudah bertekad bulat untuk tobat meninggalkan semua
perbuatan buruknya. Ia mengambil air wudhu dan masuk ke dalam masjid. Ia
mencari-cari kakaknya, ternyata tidak ada. Padahal biasanya kakaknya selalu
beritikaf di masjid usai maghrib sampai isya. Ia bertanya pada penjaga masjid, namun
ia tidak tahu kemana perginya. Meskipun tidak ada kakaknya niatnya telah bulat.
Ia melakukan shalat dan beristighfar sebanyak-banyaknya dengan mata bercucuran
air mata.
Tiba-tiba bumi tergoncang dengan hebatnya.
“Awas ada gempa ! Ada gempa !” teriak orang-orang di
jalan.
Orang-orang panik keluar dari rumah untuk
menyelamatkan diri. Takut kalau-kalau rumah mereka runtuh. Sang adik yang
sedang larut dalam kenikmatan tobatnya tidak beranjak dari dalam masjid. Ia
tidak merasakan ada gempa. Demikian juga sang kakak yang saat itu sedang
terlena di rumah bordil. Ia sama sekali tidak merasakan gempa. Goncangan gempa
malam itu cukup keras. Beberapa bangunan roboh. Termasuk masjid dan rumah
bordil.
Keesokan harinya. Sang kakak ditemukan tewas diantara
reruntuhan rumah bordil di samping mayat seorang penari wanita dalam keadaan
yang memalukan. Sedangkan adiknya juga ditemukan tewas di antara reruntuhan
masjid. Kedua tangannya mendekap sebuah mushaf di dada.
Masyarakat yang tahu ihwal kedua kakak beradik itu meneteskan
air mata. Mereka tidak habis pikir, orang yang selama ini dikenal ahli ibadah
kok bisa tewas dengan cara yang sedemikian tragisnya. Sedangkan adiknya yang
selama ini dikenal ahli maksiat kok bisa husnul khatimah. Dengan peristiwa itu
orang-orang diberi pelajaran yang sangat berharga. Bahwa kematian bisa datang
kapan saja. Hanya Allah yang tahu. Maka jangan sekali-kali iseng menuruti hawa
nafsu. Siapa tahu saat sedang menuruti hawa nafsu itulah maut menjemput.
Na’udzubillahi min dzalik. Bahwa niat baik harus selalu dijaga, agar Allah Swt
menganugerahkan akhir hidup yang indah. Akhir hidup yang diridhai-Nya.
“Ya Allah, karuniakanlah kepada kami keteguhan dan
keistiqomahan berada dalam jalan-Mu. Karuniakanlah kepada kami husnul khatimah.
Amin, ya Rabbal ‘Alamin.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar