Oleh Sukpandiar Idris Advokat As-salafy
Muhammad bin Musa al-Qadhi berkata, " Pada suatu
hari di tahun 286 H, saya menghadiri sidang Musa bin Ishaq al-Qadhi. Sidang
atas kasus yang di ajukan oleh seorang tua yang menggugat menantunya karea ia
ingkar janji (wan prestasi dalam bahasa hukum perdata (AH) senilai 500 dinar-
setara Rp. 1 Milyar 200 juta lebih! yang ia janjikan.
Hakim mengatakan, " Datangkanlah para
saksimu". Orang tua itu mengatakan, saya telah menghadirkan mereka dalam
sidang ini.' Sang hakim lalu minta kepada sebagian saksi untuk melihat kepada
sang isteri, lalu saksi berdiri, dan wanita (sang isteri) juga berdiri.
Mengetahui hal itu, suaminya berkata, "Apa yang hendak
kalian lakukan?" Pengacaranya mengatakan, "Mereka akan melihat wajah
isterimu untuk mengecek kebenarannya." Maka sang suami mengatakan , "saya
bersaksi kepada hakim bahwa saya mengakui punya hutang mahar pada isteri saya
asalkan dia tidak membuka wajahnya (Niqob, Cadar atau sejenis-AHSI) kepada
orang lain."....
Sang isteri kemudian membalas, "saya juga bersaksi
kepada hakim bahwa saya telah merelakan mahar saya dan memberikannya kepada
suami saya dan dia telah lepas dari beban dunia dan akhirat," maka hakim
berkomentar, "Sungguh, ini pantas dicatat dalam keindahan akhlak" (
Tarikh Bahghdad 13/53 oleh al-Khathib al-Baghdadi).
Dalam kisah ini terdapat faidah tentang kecemburuan suami terhadap isterinya, bagaimana ia tidak rela jika wajah isterinya dipandang oleh orang lain sekalpun dalam persaksian. Lantas mana kecemburuanmu wahai para suami dan pemilik anak puteri. (Di salin dari majalah Al-Furqon edisi Syawal 1433 H/2012 dengan sedikit perubahan dan editing dari Si).
Dalam kisah ini terdapat faidah tentang kecemburuan suami terhadap isterinya, bagaimana ia tidak rela jika wajah isterinya dipandang oleh orang lain sekalpun dalam persaksian. Lantas mana kecemburuanmu wahai para suami dan pemilik anak puteri. (Di salin dari majalah Al-Furqon edisi Syawal 1433 H/2012 dengan sedikit perubahan dan editing dari Si).
Seorang suami harus memiliki rasa cemburu kepada
istrinya yang dengan perasaan ini ia menjaga kehormatan istrinya. Ia tidak
membiarkan istrinya bercampur baur dengan lelaki, ngobrol dan bercanda dengan
sembarang laki-laki. Ia tidak membiarkan istrinya ke pasar sendirian atau hanya
berduaan dengan sopir pribadinya.
Suami yang memiliki rasa cemburu kepada istrinya tentunya tidak akan memperhadapkan istrinya kepada perkara yang mengikis rasa malu dan dapat mengeluarkannya dari kemuliaan.
Suami yang memiliki rasa cemburu kepada istrinya tentunya tidak akan memperhadapkan istrinya kepada perkara yang mengikis rasa malu dan dapat mengeluarkannya dari kemuliaan.
Sa’d bin ‘Ubadah pernah berkata mengungkapkan kecemburuannya
terhadap istrinya: “Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku
niscaya aku akan memukul laki-laki itu dengan pedang bukan pada bagian sisinya
(yang tumpul).”
Mendengar ucapan Sa’d yang sedemikian itu, tidaklah membuat Nabi shallallahu 'alayhiwasallam mencelanya. Bahkan beliau shallallahu 'alayhi wasallam bersabda:
“Apakah kalian merasa heran dengan cemburunya Sa’d? Sungguh aku lebih cemburu daripada Sa’d dan Allah lebih cemburu daripadaku.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitab An-Nikah, Bab Al-Ghirah dan Muslim no. 3743)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar