Menembus
Batas Langit Perjalanan Isra Mi’raj
Bismillahi
minal Awwali wal Akhiri ... Ilmuwan terkemuka Sinka mengatakan: siapa
pun yang melayangkan pendangannya ke arah langit pasti akan
memejamkan kedua matanya dengan penuh kekaguman dan katakjuban. Sebab
ia melihat jutaan bintang yang bersinar terang, mengamati
pergerakannya di garis orbitnya, dan beralih memandangi rasi-rasinya.
Masing-masing bintang, planet, nebul, dan satelit adalah dunia yang
berdiri sendiri, dan jauh lebih besar daripada bumi beserta segala
yang ada diantaranya dan yang melingkupinya (Ahmad, 2006:42).
....
Bayangkan,
jika kita sedang menengadah ke langit di malam hari, kita melihat
sinar bulan yang begitu indah. Nah, sinar bulan yang kita lihat itu
membutuhkan waktu untuk menempuh jarak dari bulan ke bumi sekira
350.000 kilometer. Karena kecepatan cahaya sekitar 300.000 meter per
detik, maka cahaya bulan itu membutuhkan waktu lebih dari satu detik
untuk sampai ke bumi. Artinya, ketika kita melihat bulan, sebenarnya
bulan yang kita lihat itu bukanlah bulan pada saat yang sama. Sebab,
bulan membutuhkan waktu selama satu detik untuk mencapai bumi. Paling
tidak, bulan yang kita lihat saat ini adalah bulan satu detik yang
lalu.
Hal
itu juga terjadi ketika kita melihat matahari. Karena jarak Matahari
– Bumi yang demikian jauhnya sekitar 150 juta kilometer, maka
kecepatan cahaya membutuhkan waktu 8 menit untuk sampai ke bumi.
Artinya, jika waktu itu kita melihat matahari, maka matahari yang
kita lihat itu sebenarnya bukalah matahari pada saat itu, melainkan
matahari 8 menit yang lalu (Mustofa, 2006:71).
Kenaehan
dan keterkaguman kita akan semakin bertambah, manakala kita
menyaksikan benda-benda langit yang lain, bintang umpamanya. Malah
ada bintang yang berjarak sangat jauh dari bumi hingga memakan waktu
8 tahun cahaya dari bumi. Maka jika kita melihat bintang itu,
sebenarnya kita sedang menyaksikan bintang yang usianya 8 tahun lalu.
Mengagumkan.
Bahkan, dalam abad kekinian, sering juga kita dengar istilah satelit atau sputnik, yaitu kendaraan ruang angkasa yang diluncurkan menuju bulan dan planetnya di dalam kelompok matahari. Persitiwa satelit atau sputnik itu merupakan hasil kecerdasan otak manusia sekaligus merupakan alat terpenting dalam mencapai kemajuan lahir ke arah pengetahuan dan teknologi.
Bahkan, dalam abad kekinian, sering juga kita dengar istilah satelit atau sputnik, yaitu kendaraan ruang angkasa yang diluncurkan menuju bulan dan planetnya di dalam kelompok matahari. Persitiwa satelit atau sputnik itu merupakan hasil kecerdasan otak manusia sekaligus merupakan alat terpenting dalam mencapai kemajuan lahir ke arah pengetahuan dan teknologi.
Lalu,
pada abad ke-7 atau sekitar 1400 tahun silam, kita juga mendengar
suatu peristiwa maha hebat dari tanah Arab. Persitiwa itu jauh lebih
mengagumkan dari satelit ataupun sputik dan benda-benda langit
lainnya. Peristiwa itu dinamakan Isra Mi’raj Nabi Muhammad saw.
Muhammad tidak saja menembus ruang angkasa di sekitar bulan, bahkan
sudah meluncur ke ufuk yang tertinggi , melalui sistem planet,
menerobos ruang langit yang luas, berlanjut terus ke gugusan Bintang
Bima Sakti, meningkat kemudian mengarungi Semesta Alam hingga sampai
di ruang yang dibatasi oleh ruang yang tak terbatas. Kemudian
sampailah Rasulullah Muhammad saw pada Ruang yang Mutlak yang
dinamakan “Maha Ruang”. Inilah yang disebut “Dan dia Muhammaddi ufuk yang tertinggi” (Mudhary, 1996:21).
Peristiwa luar biasa ini kontan membuat kontroversi di masyarakat. Ada masyarakat yang mencemooh; kebanyakan dari mereka orang kafir. Mereka menggemboskan isu bahwa Muhammad telah gila. Kelompok kedua adalah mereka yang ragu-ragu. Mereka terbawa oleh suasana kontradiksi, mau percaya kok rasanya berita itu tidak masuk akal. Tapi ngga percaya, kan Muhammad tidak pernah berbohong. Kelompok ketiga adalah mereka yang begitu yakin akan ke-Rasulan Muhammad. Perjalanan yang kontroversial ini pun bagi mereka justru meningkatkan kayakinannya bahwa beliau benar-benar utusan Allah.
Peristiwa luar biasa ini kontan membuat kontroversi di masyarakat. Ada masyarakat yang mencemooh; kebanyakan dari mereka orang kafir. Mereka menggemboskan isu bahwa Muhammad telah gila. Kelompok kedua adalah mereka yang ragu-ragu. Mereka terbawa oleh suasana kontradiksi, mau percaya kok rasanya berita itu tidak masuk akal. Tapi ngga percaya, kan Muhammad tidak pernah berbohong. Kelompok ketiga adalah mereka yang begitu yakin akan ke-Rasulan Muhammad. Perjalanan yang kontroversial ini pun bagi mereka justru meningkatkan kayakinannya bahwa beliau benar-benar utusan Allah.
Lantas
bagaimana dengan kita? Termasuk golongan yang mana: tidak yakin,
ragu-ragu, atau yakin? Alternatif dari jawaban itu adalah bahwa kita
harus yakin dengan di-Isra-kan dan di-Mi’raj-kannya Muhammad,
sekaligus meyakinkan kaum peragu bahwa peristiwa ini pun masuk akal,
logis, dan rasional. Sebab, bisa dibuktikan secara empiris dalam ilmu
pengetahuan modern
Bukankah
manusia adalah salah satu magnum opus-nya Tuhan dengan keistimewaan
akalnya. Bukankah telah disinyalir Tuhan bahwa manusia memiliki
kemampuan untuk menjelajah seantero jagat raya dengan kekuasannya
(QS.Ar Rahman:33). Bahkan, Al Khazin, Al Baidlawi, dan An Nasai
(Mudhary, 1996:21), memberi tafsiran bahwa arah kata sulthan atau
kekuasanannya ialah ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh kecerdasan
otak lahir dan ilmu pengetahuan yang dihasilkan otak batin. Otak
lahir disebut juga indera badani atau jasmani, sedangkan otak batin
disebut indra rohani. Keduanya dikenal dengan sensus interior dan
eksterior.
Hubungan
antara tanda-tanda kebenaran di dalam al Quran dan alam raya
dipadukan melalui mukjizat Al Quran dengan mukjizat alam raya yang
menggambarkan kekuasaan Tuhan. Masing-masing mengakui dan membenarkan
keduanya menjadi pelajaran bagi setiap orang yang mau mendengar.
Bahkan Abbas Mahmud Aqqad (dikutip Pasya, 2004:24), memberi
penjelasan makna mukjizat ilmiah dalam al Quran dan Hadits secara
lebih mendalam yakni terdapat dua macam mukjizat yang harus
dibedakan: mukjizat yang harus dicari, dan mukjizat yang memang tidak
perlu dicarai.
Sayangnya
pembedaan antara kedua macam mukjizat tersebut hampir tidak kita
temukan pada mereka yang pemikirannya hanya berhenti pada batas
penafsiran ilmiah terhadap fenomena alam. Tidak adanya pembedaan
tersebut kadang menyebabkan pencampuradukkan anatra mukjizat ilmiah
(yang berarti bahwa Al Quran dan Hadits telah terlebih dahulu
memberitahukan kita tentang fakta atau fenomena alam sebelum
ditemukan oleh ilmu empiris) dan penafsiran Al Quran secara ilmiah
(yang berarti mengungkap makna-makan baru ayat Quran atau Hadits
sesuai kebenaran teori sains). Dengan kata lain, sains menjadi
perangkat untuk menafsirkan Al Quran dan Hadits, seperti halnya ilmu
bahasa dan asal usul fikih yang juga menjadi perangkat untuk
menafsirkan ayat-ayat Al Quran di bidang ilmu keagamaan. Nah.
Dengan
demikian, perjalanan Isra Mi’raj yang menjadi fenomena mukjizat
Allah tersebut mampu dikaji secara ilmiah. Pembuktian-pembuktian
sains modern telah menampakan sebuah paradigma bahwa perjalanan
Muhammad menjumpai Tuhannya dengan menembus batas-batas langit adalah
benar. Sebab, perjalanan itu bisa ditafsir ulang dengan sains
kekinian, dan dibuktikan secara ilmiah.
Skenario
Isra Mi’raj dan Tafsir Fisik …
“Maha
Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah diberkahi sekelilingnya
oleh Allah agar Kami perhatikan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kekuasaan) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat” (QS Al Isra:1).
Dalam
ayat in, Allah sudah menjelaskan skenario perjalanan Isra Mi’raj
Nabi Muhammad. Sehingga dengan berpatokan pada ayat ini, kita bisa
memperoleh pemahaman yang sangat memadai tentang mukjizat Isra dan
Mi’raj tersebut.
Dalam
tinjauan Agus Mustofa (2006:11), setidak-tidaknya ada delapan kata
kunci yang menjadi catatan penting dan menuntut pemahaman kita
menembus batas-batas langit untuk menafsir perjalanan kontroversial
ini. Baiklah, jika kita mencoba untuk menguraikan makna kata-kata
tersebut, maka akan menjadi seperti ini:
Catatan
pertama, terdapat pada akata Subhanallah, Maha Suci Allah. Hal ini
mengisyaratkan bahwa persitiwa ini sangat luar biasa. Saking
spesialnya kejadian ini, Allah sendiri memuji diri-Nya dengan ucapan
Subhanallah. Barangkali inilah salah satu bukti bahwa Allah adalah
Maha dari segala Maha. Maha tanpa batasan ruang, waktu, bahkan massa.
Sehingga lanjut Quraish Shihab (1992:338), peristiwa ini membuktikan
bahwa ‘ilm dan qudrat Tuhan meliputi dan menjangkau, bahkan
mengatasi segala yang finite (terbatas) dan infinite (tak terbatas)
tanpa terbatas ruang dan waktu.
Catatan
kedua, adalah dalam kata asraa, yang telah memperjalankan. Ini
berarti bahwa perjalanan Isra Mi’raj bukan atas kehendak
Rasulullah, melainkan kehendak Allah. Dengan kata lain, kita juga
memperoleh ‘bocoran’ bahwa Rasul tidak akan sanggup melakukan
perjalanan itu atas kehendaknya sendiri. Saking dahsyatnya perjalanan
ini, jangankan manusia biasa, Rasul sekali pun tidak akan bisa tanpa
diperjalankan oleh Allah.
Oleh
karena itu lanjut Agus (2006:15), Allah lantas mengutus malaikat
Jibril untuk membawa Nabi melanglang ‘ruang’ dan ‘waktu’
didalam alam semesta ciptaan Allah. Mengapa Jibril? Sebab Jibril
merupakan makhluk dari langit ke tujuh yang berbadan cahaya. Dengan
badan cahayanya itu, Jibril bisa membawa Rasulullah melintasi
dimensi-dimensi yang tak kasat mata.
Pembuktian menurut ilmu Fisika lanjut Mudhary (1996;28), bahwa eter menjadi zat pembawa sekaligus pelantara daya elektromagnetik. Eter adalah udara yang ringan sekali, lebih ringan dari udara yang dihirup oleh manusia: O2. Dalam bahasa Arab disebut dengan “Itsir”. Jika eter bergetar, niscaya membutuhkan pula zat pembawa yang lebih halus lagi dari eter itu sendiri, agar getaran eter itu bisa tersebar ke mana-mana.
Pembuktian menurut ilmu Fisika lanjut Mudhary (1996;28), bahwa eter menjadi zat pembawa sekaligus pelantara daya elektromagnetik. Eter adalah udara yang ringan sekali, lebih ringan dari udara yang dihirup oleh manusia: O2. Dalam bahasa Arab disebut dengan “Itsir”. Jika eter bergetar, niscaya membutuhkan pula zat pembawa yang lebih halus lagi dari eter itu sendiri, agar getaran eter itu bisa tersebar ke mana-mana.
Sedangkan
menurut Ilmu Metafisika, Rasul naik ke ruang angkasa melakukan
perjalanan Mi’rajnya tentu membutuhkan zat pembawa yang lebih halus
dari jiwa atau rohaninya. Oleh karena itu, makhluk hidup yang
memiliki dua jasad: jasmani dan rohani, maka diperlukan zat pembawa
yang lebih halus dari rohani itu sendiri dan mampu mengangkat jasmani
Rasul sekaligus. Dan ternyata makhluk yang sangat halus itu bernama
Jibril.
Selain
Jibril, perjalanan super istimewa itu disertai juga oleh kendaraan
spesial yang didesain Allah dengan sangat spesial bernama Buraq. Ia
adalah makhluk berbadan cahaya yang berasal dari alam malakut yang
dijadikan tunggangan selama perjalanan tersebut. Buraq berasal dari
kata Barqum yang berarti kilat. Maka, ketika menunggang Buraq itu
mereka bertiga melesat dengan melebihi kecepatan cahaya sekitar
300.000 kilometer per detik (Mustofa, 2006:15).
Jika
seandainya kecepatan Buraq diambil serendah-rendahnya setara dengan
perbandingan kecepatan elektris saja: 300.000 kilometer per detik,
maka jarak anatara Masjidil Haram di Mekkah dengan Masjidil Aqsha di
Palestina yang berjarak 1.500 kilometer, paling tidak memakan waktu
1/200 detik. Padahal, Buraq adalah makhluk hidup yang kecepatannya
pun bisa melebihi kecepatan elektris tadi.
Pertanyaannya
kemudian, bukankah kecepatan cahaya adalah kecepatan paling tinggi
yang telah dihasilkan Fisika Modern? Bukankah kecepatan cahaya telah
mendapat legalitas berdasarkan keputusan kongres Internasional
tentang Standar Ukuran yang digelar di Paris tahun 1983: bahwa
kecepatan cahaya berada dalam vakum sebesar 299.792.458 meter per
detik dibulatkan sekira 300.000 kilometer per detik. Dan tentu saja,
kecepatan cahaya berlaku sama bagi seluruh gelombang spektrum dan
mempersentasikan batas kecepatan dalam alam fisika (Ahmad, 2006:168).
Tentu
saja kecepatan setinggi itu tidak bisa dilakukan oleh sembarang
benda. Hanya sesuatu yang sangat ringan saja yang bisa memiliki
kecepatan yang bisa melebihi kecepatan cahaya. Bahkan, saking
ringannya, maka sesuatu itu harus tidak memiliki massa sama sekali.
Yang bisa melakukan kecepatan itu hanya photon saja, yaitu
kuantum-kuantum penyusun cahaya. Bahkan, electron sekali pun yang
bobotnya hamper nol sekalipun tidak bisa memiliki kecepatan setinggi
itu.
Sedangkan
manusia sendiri terkonstruksi dari satuan-satuan utama yang sangat
kecil dinamakan sel. Jumlahnya sekitar 390 milyar. Sel tubuh ini
tidak sama, baik bentuk, besar, maupun fungsinya. Sel-sel ini tidak
terpisah satu sama lain, tetapi hidup dalam organisasi yang harmonis
(Pasya, 2004:250).
Jika
dilihat dari penyusunnya, maka berbagai macam sel itu tersusun dari
molekul-molekul. Baik yang sederhana maupun molekul yang kompleks.
Mulai dari H2O, sampai pada molekul asam amino atau proteir kompleks
lainnya. Dan jika dicermati, maka molekul itu juga tersusun dari
bagian-bagian yang lebih kecil disebut atom. Dan atom ini pun
tersusun dari partikel-partikel sub atomik seperti: proton, neutron,
elektron, dan sebagainya.
Karena
manusia memiliki bobot, jangankan untuk dipercepat dengan kecepatan
setingkat kecepatan cahaya. Dengan percepatan beberapa kali gravitasi
bumi (G) saja, sudah akan mengalami kendala serius, bahkan bisa
meninggal dunia.
Dalam
ilustrasinya, Agus Mustofa (2006:17) memberi gambaran tentang seorang
pilot yang melakukan manuver di angkasa. Ketika ia melakukan gerakan
vertikal naik ke langit atau manuver ‘jatuh’ ke bumi misalnya,
saat itu badannya akan mengalami tekanan alias beban yang sangat
berat bergantung pada besarnya percepatan yang ia lakukan.
Jika
pilot bermanuver ke langit dengan percepatan dua kali gravitasi bumi
(2G), maka badannya akan mengalami tekanan dua kali lipat dari
biasanya. Jika bobot pilot dalam kondisi normal 80 kg misalnya, maka
pada saat melakukan manuver bobotnya akan menjadi 160 kg. Bahkan jika
percepatannya lebih tinggi lagi, rasa ‘nyuut’ di otak akan
semakin besar. Seperti orang yang jatuh bebas ke dalam sebuah sumur
yang dalam. Bisa-bisa seseorang akan mengalami ‘hilang kesadaran’.
Apalagi manuver pilot dengan kecepatan 5G, pilot yang tidak terlatih
bisa-bisa mengalami balck out alias semaput atau pingsan di angkasa.
Jika
demikian, bukankah Muhammad juga seorang manusia biasa yang memiliki
struktur sama dengan pilot dalam ilustrasi tadi ketika ia melakukan
perjalanan Isra Mi’raj tersebut? Lalu bagaimana jasmani Muhammad
mampu menembus lapisan langit dengan bantuan kecepatan cahaya ?
Apakah Muhammad di-Isra-kan dan di-Mi’raj-kan dengan jasmani dan
rohaninya sekaligus? Nah.
Salah
satu ‘skenario rekonstruksi’ untuk mengatasi problem ini adalah
teori Annihilasi. Teori ini mengatakan bahwa setiap materi (zat)
memiliki anti materi. Dan jika materi dipertemukan atau direaksikan
dengan anti materinya, maka kedua partikel tersebut bakal lenyap
berubah menjadi seberkas cahaya atau sinar gama (Mustofa, 2006:20).
Hal
ini telah dibuktikan di laboratorium nuklir masih dalam buku yang
sama (2006:20), bahwa jika ada partikel proton dipertemukan dengan
antiproton, atau elektron dengan positron sebagai antielektronnya,
maka kedua pasangan partikel tersebut akan lenyap dan memunculkan dua
buah sinar gama, dengan energi masing-masing 0,11 MeV untuk pasangan
elektron dan 938 MeVuntuk pasangan partikel proton.
Sebaliknya,
jika ada seberkas sinar Gama yang memiliki energi sebesar itu
dilewatkan medan inti atom, maka tiba-tiba sinar tersebut lenyap
berubah menjadi dua buah pasangan partikel seperti di atas. Hal ini
menunjukan bahwa materi memang bisa berubah menjadi cahaya dengan
cara tertentu, yang disebut sebagai reaksi Annihilasi.
Nah,
proses pengubahan materi menjadi cahaya terjadi sesaat sebelum
perjalanan Isra Mi’raj dimulai. Kejadian ini ketika Rasul disucikan
oleh Jibril di dekat sumur zam-zam. Bisa dikatakan jika proses ini
adalah proses operasi hati Muhammad dengan air zam-zam.
Kenapa
operasi hati? Bukan otak atau jantung misalnya? Ya, sebab hati adalah
pangkal dari seluruh aktifitas badani. Bahkan Rasul mengatakan bahwa
hati adalah pangkal dari segala aktifitas badani. Jika baik hatinya,
maka baik pula seluruh aktifitas badannya. Begitu juga sebaliknya
jika buruk hatinya, maka buruk juga segala aktifitas badaniahnya.
Bahkan,
resonansi dari hati yang baik itulah kelembutan akan muncul. Bagaikan
buluh perindu yang akan menghasilkan suara merdu ketika ditiup.
Kenapa? Karena hati yang lembut bagaikan sebuah tabung resonansi yang
bagus. Getarannya menghasilkan frekuensi yang semakin lama semakin
tinggi. Semakin lembut hati seseorang, semakin tinggi frekuensinya.
Pada frekuensi 10 pangkat 8, maka akan menghasilkan gelombang radio.
Dan jika frekuensinya lebih tinggi misal 10 pangkat 14, maka akan
menghasilkan gelombang cahaya (Mustofa, 2008:153).
Itulah
agaknya yang terjadi pada diri Rasulullah saat ‘dioperasi’ oleh
malaikat Jibril di dekat sumur zam-zam. Jibril melakukan manipulasi
terhadap sistem energi menjadi badan cahaya. Dengan kesiapan ini,
Muhammad siap untukdibawa melalui kawalan Jibril dengan mengendarai
Buraq menembus batas langit hingga akhirnya berjumpa dengan Sang
Pemilik Cahaya Abadi.
Catatan
ketiga, terdapat dalam kata ‘abdihi, Hamba-Nya. Hal ini berarti
bahwa tidak semua orang secara sembarangan mampu melakukan perjalanan
Isra Mi’raj. Perjalanan fantastis yang hanya bisa dilakukan oleh
manusia yang sudah mencapai tingkatan ‘abdihi, hamba-Nya. Atau
dalam istilah Quraish Shihab sebagai insan kamil.
Catatan
keempat, dalam kata laila, malam hari. Perjalanan spesial ini
dilakukan pada malam hari dan bukan siang hari. Kenapa? Inilah dia
bukti kebesaran Tuhan Sang Maha Gagah itu. Ia mengendalikan
perjalanana Isra Mi’raj dengan apik dan sangat canggih. Apalagi
alasan logis mengenai hal itu, bahwa pada siang hari radiasi sinar
matahari demikian kuatnya, sehingga bisa membahayakan badan Nabi
Muhammad yang sebenarnya memang bukan badan cahaya. Badan nabi yang
sesungguhnya tentu saja adalah materi. Perubahan menjadi badan cahaya
itu bersifat sementara saja, sesuai kebutuhan untuk melakukan
perjalanan bersama Jibril. Dengan melakukannya pada malam hari, maka
Allah telah menghindarkan Nabi dari interferensi gelombang yang bakal
membahayakan badannya. Suasana malam memberikan kondisi yang baik
buat perjalanan itu (Mustofa, 2006:25).
Sebagai
gambaran sederhana, ketika di malam hari kita menyalakan radio, maka
gelombang yang kita tangkap akan jernih dan lebih mudah dari siang
hari. Sebab gelombang radio tersebut tidak mengalami gangguan terlalu
besar yang saling bersinggungan dengan gelombang lainnya. Begitulah
gambaran sederhananya, sebab waktu malam hari adalah waktu yang
paling kondusif untuk perjalanan super spesial demi kelancaran
perjalanan ini.
Catatan
kelima, terdapat dalam kata minal Masjidil haram ilal masjidil Aqsha,
dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Perjalanan ini dimulai dari
mesjid ke mesjid, sebab mesjid adalah bangunan yang memiliki energi
positif. Disanalah orang-orang berusaha untuk menyucikan diri,
mendekat, bahkan merapat kepada Tuhannya. Masing-masing mesjid
tersebut ibarat tabung energi positif bagi perjalanan Nabi.
Masjidil
Haram dan Masjidil Aqsha dijadikan sebagai terminal pemberangkatan
dan kedatangan. Hal ini mirip dengan tabung transmitter dan
recieveri, yang dipergunakan dalam proses perubahan badan Nabi
Muhammad dari materi menjadi cahaya jauh lebih mudah. Apalagi proses
itu melalui ‘operasi’ lewat pelantara Jibril yang memang makhluk
cahaya. Maka semuanya berjalan dengan lancar sesuai kehendak Allah.
Dia-lah yang berkehendak, sedang Jibril yang melaksanakannya
(Mustofa, 2006:28).
Catatan
keenam, yakni dalam kata baaraknaa haulahu, Kami berkahi
sekelilingnya. Perjalanan ini adalah perjalanan yang tak lazim. Oleh
karena itu Allah mempersiapkan semua fasilitas dengan keberkahan
untuk menjaga kelancaran perjalanan sekali dalam sepanjang sejarah
manusia.
Nah,
disinilah pentingnya Allah menjaga lingkungan sekitar perjalanan Isra
Mi’raj agar tidak terjadi hal-hal yang merusak. Sebab, jika badan
Rasul tiba-tiba berubah menjadi ‘badan materi’ lagi saat
melakukan perjalanan berkecepatan tinggi itu, maka badannya bisa
terurai menjadi partikel-partikel kecil sub atomik, tidak beraturan
lagi. Untuk itulah, keberkahan itu selalu ada; di setiap tempat di
setiap keadaan, bahkan tak mengenal tempat, waktu, dan keadaan
sekalipun.
Catatan
ketujuh, terdapat dalam kata linuriyahu min ayaayaatina, tanda-tanda
kebesaran Allah. Ya, tepat sekali Isra Mi’raj adalah salah satu
tanda kebesaran Allah yang Maha Hebat. Dalam perjalanan itu Rasul
menyaksikan pemandangan yang tidak pernah beliau saksikan sebelumnya.
Terutama ketika melintasi dimensi-dimensi langit yang lebih tinggi
pada saat Mi’raj ke langit ke tujuh. Tanda kebesaran dan keagungan
Allah ini terhampar di jagat raya. Dan dengan tanda-tanda itu,
seseorang mukmin bisa melakukan ‘dzikir sekaligus pikir’ sehingga
menghasilkan kedekatan diri kepada Allah Azza wa Jalla.
Dan
kata kunci yang terakhir adalah innahu huwas samii’ul bashir,
sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat. Ini adalah proses
penegasan informasi kalimat sebelumnya. Dengan adanya kalimat ini,
seakan-akan Alalh ingin memberikan jaminan kepada kita bahwa apa yang
telah Dia ceritakan dalam ayat ini adalah benar adanya. Kenapa?
Karena berita ini datang dari Allah, Tuhan yang Maha Mendengar lagi
Maha Melihat. Maka tak perlu ada keraguan tentang kisah fenomenal ini
(Mustofa, 2006:41).
Begitu
dahsyat peristiwa Isra Mi’raj hingga meninggalkan kesan mendalam
untuk seluruh umat manusia hingga kini. Namun, dari tafsiran yang
telah dipaparkan di atas, sekira dengan obat sebagai penawar
penyakit, begitu pun hikmah perjalanan ini sebagai ikhtiar pembangun
jiwa-jiwa yang sedang kebingungan, atau malah ‘mati’ dalam
kebingungan.
Siapa
pun ia jika mengira akal adalah Tuhan yang patut disembah, sains
adalah Maha Guru tertinggi yang patut dipuji, maka ia bagai berada
dalam dimensi yang terus memenjaranya untuk tidak menemukan kebenaran
hakiki. Sebab, Kant pernah berkata (dalam avant propos Capra,
2000:xxii), bahwa ia secara meyakinkan dan sudah membuktikan jika
nalar teoritis sama sekali tak mampu menangkap kebenaran metafisika.
Dengan kata lain, sains tak bisa membuktikan Tuhan ada, juga tidak
bisa membuktikan Tuhan tidak ada. Dengan ini, Kant sebenarnya hendak
membatasi ekspansi sains, menyisakan ruang bagi iman.
Banyak
tafsiran yang diutarakan para ulama terkait berita kontroversial ini.
Namun, perlu menjadi catatan bahwa terlepas dari semua tafsiran:
aqidah, sains, bahkan tasawuf sekalipun, ia ‘menggenjot’
penyemangat jiwa. Sebab Muhammad mampu ‘berlari’ menjadi hamba
yang Insan Kamil untuk melesat menuju Tuhannya. Ia membuka diri untuk
disesuaikan dan direkonstruksi demi menyempurnakan panggilan spesial
Tuhannya.
Bukan
saja Muhammad yang bisa ‘berlari menuju Tuhannya. Anda, saudara,
dan kita semua bisa ‘berlari’ mengejar hakikat kecintaan kepada
Tuhan. Hidup terlalu singkat untuk diisi dengan pergi menuju tuhan
dengan cara berjalan lanjut Kang Jalal (2008:69). Kita harus
‘berlari’ sebelum waktu kita di dunia habis dan berakhir.
‘Berlari’ dari segala yang menarik perhatian kita, menuju kepada
yang satu, Allah. Sebab, “Barangsiapa yang mendekati Allah sesiku,
Dia akan mendekatinya sehasta. Barangsiapa mendekati Allah sambil
berjalan, Dia akan menyambutnya sambil berlari” (HR. Ahmad dan
Thabrani). Jika begitu, bagaimana jika kita menuju-Nya dengan
‘berlari’, seberapa dekatkah Ia kepada hamba-Nya.
Kenyataan
ini menuntun kita pada adanya evolusi dari hal yang sifatnya material
menuju hal yang immaterial. Membimbing kita untuk Mi’raj atau
pendakian menuju tahap demi tahap hingga sampai ke hakikat kecintaan
kepada-Nya. Keberadaan hierarki dan proses pendakiannya yang
merupakan ajaran tarekat yang dicontohkan Plotinus sebagai tokoh
madzhab neoplatonisme (Purwanto, 2008:383). Menurutnya semua berasal
dari Yang Satu atau to Hen dan semuanya berhasrat untuk kembali
kepada Yang Satu. Manusia dapat melaksanakan pengembalian kepada Yang
Satu dengan upaya menempuh tahap demi tahap, hingga akhirnya mampu
‘berlari’ menembus penyatuan dengan Yang Satu, atau dalam istilah
Plotinus disebut ekstasis.
Overall,
maka bersegeralah ‘berlari’ untuk Mi’raj menuju Tuhan. Sebab Ia
telah berfirman: “Oleh karena itu, bersegeralah berlari kembali
menuju Allah” (QS.Al dzariyat:50). Mi’raj untuk menembus
batas-batas kekotoran sifat manusia, menjemput Cahaya Ke-Tuhanan yang
hanya diberikan bagi mereka yang spesial. Mereka yang berhasil
menjadi pengikut Muhammad yang tidah hanya mengagumi dalam decak
kagum tanpa penghayatan, tetapi penghayatan dalam pengamalan yang
ikhlas.
Perjalanan
yang ditempuh dari pecinta menuju yang dicintainya, hingga keadaan
ini berada dalam vakum penyatuan. Cerminan penyatuan itu tertuang
dalam sebuah hadits qudsi: “Tidak henti-hentinya hamba-hamba-Ku
mendekatkan diri kepada–Ku dengan melakukan ibadah-ibadah nawafil,
hingga Aku mencintainya. Kalau Aku telah mencintainya, Aku akan
menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar; Aku akan menjadi
matanya yang dengannya ia melihat; Aku akan menjadi tangannya yang
dengannya ia memegang; Aku akan menjadi kakinya yang dengannya ia
berjalan. Jika ia bermohon kepada-Ku, Aku akan mengabulkan
permohonannya. Jika ia berlindung kepada-Ku, Aku akan melindungi
dirinya” (HR. Bukhari).
Tags
: ceritakisah
islami, kisah
islam, sejarah
nabi muhammad, cerita
cerita nyata, cerita
islam, kisah
islami, kisah
cerita islam, cerita
islami, kisah
mengharukan cinta, teladan
islam, kisah
nyata islami, kisah
inspiratif islami, kisah
inspirasi islami, kisah
teladan islam, kisah
hikmah islami, cerita
nabi, kisah
kisah islami, kisah
anak islami, cerita
cerita nabi, cerita
kisah nabi, cerita
sejarah nabi, teladan
islam, kisah
teladan, kisah
islam, kata
kata mutiara, kata
mutiara mutiara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar