Bismillahir-Rahmanir-Rahim
... Alhamdulillah wash Shalatu was Salamu ala Rasulillah. Ini kisah nyata yang
saya alami 3 tahun lalu. Semoga kita bisa mengambil ibroh dan hikmahnya.
Ada segores pedih saat
ku ukir namamu dik…, Perih. Seakan ribuan belati menusuk ke hati, meninggalkan
gumpalan sedih di lubang rasaku.. Penyesalan yang tak berujung, yang membuatku merutuki diri ini yang begitu ego diri. Allah…, Ampuni
aku.. Adik, maafkan kakak….
Aku mengenalmu pertama kali ketika kami
masih berpakaian putih abu-abu, dan berlanjurt di tingkat kuliah. Aku masih
teringat sinar matamu saat aku memasuki kelasmu, dan kamu mengajak kami dan
teman-temanmu memanfaatkan waktu kalian disela waktu luang dalam sebuah majelis
ilmu. Kajian jum’at, yang rutin ku jalankan bersama teman-teman akhwatku di
rohis.
Sayangnya, sepertinya teman-temanmu
tidak begitu merespon, mereka lebih suka menghabiskan waktunya dengan bergosip
dan hal-hal yang tidak bermanfaat, tapi kamu berbeda. Kamu terlihat istimewa.
Kamu datang, dengan wajah penuh riang. Dik, sampai sekarang aku masih ingat
senyuman yang tak penah lepas dari wajahmu. Senyuman yang dapat menghilangkan
segala penat dan lelahku karena tugas-tugas yang menumpuk, program kerja di
rohis yang begitu padat, rapat-rapat dan pertemuan yang begitu melelahkan. Tapi
kamu…, yah kamu tetap riang dan seolah mengajarkan kami kakak-kakakmu untuk
tetap semangat dan menikmati dunia dengan riang.
Kamu semakin dekat pada kami, kamu
begitu mudah menyerap segala pengetahuan yang kami berikan kepadamu. Kamu
cerdas dik. Mungkin karena belajar dengan hati, kamu begitu mudah menerima
kebaikan. Kamu hanif dik, hatimu begitu lembut dengan kebenaran… Allahu akbar,
aku malu dik saat menyadari betapa banyak kesombongan di hati ini, tak seperti
kau yang sangat bersahaja.
Aku mulai menyadari, dirimu sangat berbeda dengan teman-temanmu. Kamu begitu dekat dengan kami, senior-seniormu, bahkan sangat manja, berbeda dengan teman-temanmu yang cukup segan kepada kami. Tapi aku suka sifatmu dik, aku seolah memiliki adik baru. Kamu sangat perhatian pada kami, terutama padaku. Itu yang ku rasa dulu, setiap disela jam istirahat, kamu pasti selalu membawa coklat untukku, dan berbisik padaku:
Aku mulai menyadari, dirimu sangat berbeda dengan teman-temanmu. Kamu begitu dekat dengan kami, senior-seniormu, bahkan sangat manja, berbeda dengan teman-temanmu yang cukup segan kepada kami. Tapi aku suka sifatmu dik, aku seolah memiliki adik baru. Kamu sangat perhatian pada kami, terutama padaku. Itu yang ku rasa dulu, setiap disela jam istirahat, kamu pasti selalu membawa coklat untukku, dan berbisik padaku:
“Kak, jangan bilang sama kak iva yah,
aku cuma kasih kakak. He he he.” Katamu dengan wajah penuh rahasia. Aku
tertawa, menyambutnya juga dengan wajah tak kalah licik. Ha ha ha ( mb.iva
mungkin kamu ingat itu…lucunya adik kita yang satu ini. Tapi ternyata aku
salah, kau melakukan hal yang sama pada mb.iva juga. Kami tertipu, tetapi kami
tetap senang. Begitulah caramu membuat kami merasa begitu kamu cintai. Allah,
begitu banyaknya dia mengajari kami. Hari itu kamu mendatangiku, dengan wajah
penuh semangat lebih dari biasanya. Kamu bertanya kepadaku :
“Kak, aku mau kayak kakak. Menutup aurat dengan sempurna.” Allahu Akbar! aku menyambut dengan begitu bahagia. Aku sampaikan pada uphi, Hilda dan ade, serta akhwat-akhwat yang lainnya. Mereka merespon dengan begitu bahagia. Kau memintaku menemanimu membeli kain, tentu saja aku mau. Subhanallah, bahagianya hatiku saat itu. Serasa tiada hari terindah melebihi ketika aku pergi bersamamu pada hari itu.
“Kak, aku mau kayak kakak. Menutup aurat dengan sempurna.” Allahu Akbar! aku menyambut dengan begitu bahagia. Aku sampaikan pada uphi, Hilda dan ade, serta akhwat-akhwat yang lainnya. Mereka merespon dengan begitu bahagia. Kau memintaku menemanimu membeli kain, tentu saja aku mau. Subhanallah, bahagianya hatiku saat itu. Serasa tiada hari terindah melebihi ketika aku pergi bersamamu pada hari itu.
Beberapa hari kemudian kamu datang
dengan wajah cemas. Katamu, keluargamu tidak senang dengan perubahanmu, bahkan
mereka pernah menyembunyikan jilbabmu. Kamu pun kini ragu dengan pilihanmu. Aku
mencoba meyakinkanmu bahwa Allah lah sebaik-baik penolong. Tak ka nada yang
bisa menyakitimu dalam lindungan-Nya. Kamu menangis.
Kemudian aku mengajakmu ke mushola. Kita
shalat dhuha, dan selesai shalat kamu berkata mantap, “Aku mantap untuk
memakainya kak.” Subhanallah, ya Allah, Engkau penguasa hati makhluk-Mu…
Keesokan harinya, kamu dengan jilbab
lebarmu, dengan wajah yang sangat berbahagia. Aku memeluk dan menciummu dengan
penuh sayang. Aku mencubit pipi tembemmu yang besemu merah, semua akhwat
memelukmu dengan bahagia, ahlan wa sahlan yaa ukhti, semoga kamu terjaga dalam
busana syar’i ini.
Kamu pun smakin dekat padaku, sangat
perhatian pada kami smua, tak pernah seingatku kamu tak datang menjengukku
setiap kali aku sakit. Kamu selalu datang walau dalam kondisi sangat lelah..
Dik, kakak sangat bangga padamu.. Kamu semakin aktif, semua amanah yang
diberikan mampu kamu kerjakan dengan penuh semangat. Bahkan, rasanya tanpa
kamu, kami sangat kerepotan. Kami sangat sayang padamu dik.
Tak terasa 2 tahun kebersamaan kita….
Aku lulus, dan harus meninggalkan kampus kita tercinta, meninggalkan rohis MPM
KARAMAH (Mahasiswa Pencinta -Mushallah Kerukunan Remaja Mushallah Aliyah) yang
kami rintis dari awal dengan penuh perjuangan, akhwat-akhwatku, adik-adik
mentorku, perjuangan kami. Aku harus meninggalkan mereka semua.
Termasuk kamu dik. Kamu menangis, kamu
meminta kami agar tak meninggalkan kalian. Yah, kami berjanji akan lebih sering
mengunjungi. Tak akan berhenti memperhatikanmu dan yang lain. Tapi, ternyata….
Semua hanya janji, kami masuk dalam
lingkungan kampus, yang kesibukannya menumpuk, terlebih aku mengambil fakultas
paling sibuk di antara semua fakultas yang ada… Aku tak menepati janji, aku
ingkar padamu dik. Allah, ampuni aku…
Aku melupakanmu, aku mulai sibuk di
lembaga dakwah kampusku, yang juga meminta perhatian yang sangat besar.
Kuliah-kuliahku, lab-labku yang membuatku tak punya waktu untuk yang lain,
termasuk padamu. Aku mulai melupakanmu, tapi kamu sering sekali menelponku.
Yah…telpon-telponmu dik.. .Allah, jika
mengingat ini, sungguh penyesalanku seakan tak ada habisnya. Kamu begitu sering
menelponku, menceritakan semua keadaan di SMU kita, tentang keluargamu yang
semakin menentangmu, tentang saudaramu yang sangat membencimu, tentang tidak
adanya orang yang mau mendengarkan seluruh keluh kesahmu.
Bahkan terkadang, kamu meneleponku
sampai dua jam. Dan aku yang begitu egois, mulai bosan dengan semua keluhanmu.
Aku yang terkadang begitu lelah dengan rutinitasku, yang hanya mencuri waktu
untuk istirahat, juga harus terganggu dengan teleponmu. Ampuni hamba ya Allah…,
aku mulai menghindarimu, tak ku jawab telepon-teleponmu, tapi kamu sekalipun
tidak marah. Ya Allah…
Suatu hari, kamu datang ke rumah dengan
wajah letih, tak ku temukan keceriaan itu lagi. Ada yang aneh pada dirimu dik,
aku sangat terkejut melihatnya…
Wajahmu yang dulu penuh semangat dan
selalu dihiasi senyum,keceriaan, yang biasanya mampu mengobarkan semangat
orang-orang di sekitarmu. Kini kamu begitu berbeda, wajahmu begitu pucat, loyo,
tanpa semangat hidup seperti dulu.
Tubuhmu dik…, Allah… ada apa dengan
dirimu dik ? dulu kamu begitu gemuk menggemaskan, dengan pipi tembem yang
sangat lucu hingga matamu yang sipit akan semakin kecil saat dirimu tersenyum.
Dulu kami (akhwat-akwhat) di rohis sering menyebutmu “Roti donatku” dan kamu akan
membalasnya dengan wajah cemberut, yang kemudian diikuti dengan merajuk… tapi
kini, kamu sangat kurus dik… sakit kah dirimu ? ini memang pertemuan pertama
kita setelah aku lulus, selama ini kita hanya berkomunikasi melalu telepon..
Dulu setiap kali kita berkumpul kamu
akan menceritakan semua pengalamanmu padaku, bibirmu akan terus berceloteh
tanpa henti, dengan riang dan semangat… aku selalu menjadi pendengar setiamu…
tapi kini kamu hanya diam membisu, tercenung tanpa berkata apa-apa….
Saat ku tanya kamu dari mana ? kamu
hanya menjawab dengan singkat bahwa kamu hanya kebetulan lewat setelah pulang
tarbiyah… lalu selebihnya kamu hanya diam… Dik, tahukah kau, betapa banyak yang
ingin ku tanyakan kepadamu? tapi aku tak ingin menambah penatmu dengan pertanyaan-pertanyaanku.
Jadi ku biarkan saja kamu dalam diammu… hingga akhirnya kamu tertidur… Aku
menatap wajahmu yang teduh dalam tidurmu… dik, sebenarnya apa yang terjadi
denganmu?
Lalu kamu pun pamit, pergi tanpa
sedikitpun cerita sebagaimana lazimnya….
Aku kembali dalam duniaku, Kuliahku,
labku, amanah dakwahku… Dan.. Ya Rabb, aku kembali melupakanmu dik, hingga
kemudian aku menerima sebuah telepon dari temanmu, “Kak, Diana sakit, sudah 1
minggu dia tidak masuk sekolah, kayaknya parah, kalau bisa kakak sempatkan
waktu untuk menjenguknya, dia selalu menanyakan kakak dan akhwat-akhwat yang
lain.” aku tercenung di ujung telepon, tak tahu harus berbuat apa..
Saat aku dan akhwat-akhwat lain tiba di
rumahmu, segera kami ke kamarmu, kamar sempit yang pengap. Hatiku miris…, aku
baru kali ini ke rumahmu dik. Rabb, aku baru menyadari betapa aku tidak
memperhatikan saudaraku yang memberiku parhatian luar biasa selama ini. Hatiku
perih melihat keadaanmu, tubuhmu begitu kurus seperti seonggok tulang
berselimut kulit, aku bahkan tak mampu mengenalimu, tubuhku bergetar, dadaku
sesak menahan tangis, air mataku jatuh tak mampu ku bendung..
Aku mendekatimu, kamu berusaha tersenyum
tapi yang ku lihat adalah ringisan menahan sakit. Aku mencoba menahan
perasaanku. Aku memelukmu, mencium keningmu, akhwat yang lain pun melakukan
yang sama… kamu tersenyum, mencoba menggapai tanganmu, ku raih dan ku genggam
tangan kurusmu… ku mencoba menghiburmu dengan berbagai cerita lucu, kamu
tertawa, akwat-akhwat pun tertawa, tapi aku menangis di sini. Di lubuk hati
terdalamku, meratapi keacuhanku…,Ketika ingin pamit, kau ingin menahanku,
maafkan kakak dik, harusnya dulu aku menemanimu lebih lama dalam kesakitanmu…
Aku mencoba bertanya pada ibumu kenapa
kamu tidak dibawa ke Rumah Sakit, dan kembali ku temukan jawaban yang
menghempaskan perasaanku hingga hancur berkeping-keping, kau menderita kanker
kelenjar getah bening. Dan karena ekonomi, tak punya biaya, kamu hanya di bawa
ke puskesmas. Kamu sudah pernah dibawa ke RS tapi di keluarkan karena tak punya
biaya…
Rabbana, apa gunaku selama ini, inikah
ukhuwah yang aku dengang-dengunkan selama ini? inikah ikatan persaudaraan bagai
satu tubuh yang selalu aku ikrarkan dalam setiap majelis yang aku bawakan?
inikah kasih sayang yang aku serukan? Tidak, aku harus melakukan sesuatu
untukmu dik… Saat itu segera aku bertanya krpada kakakku, dan katanya aku harus
mengambil surat keterangan tidak mampu untukmu agar kamu dapat segera di rawat
secara gratis…Tunggu aku, aku akan berusaha… ku bisikkan padamu bahwa aku pasti
kembali…
Aku kembali menjengukmu dik bersama
hilda dan uphi serta beberapa akhwat lain. Aku belum berhasil menyelesaikan
urusan surat miskin itu, ternyata harus dengan berbagai macam prosedur, tapi
aku akan berusaha dik…Kali ini kondisimu semakin memburuk. Aku memelukmu dan
dan kamu berkata “Ini kakak yang cengeng itu yah?” kamu tersenyum.. Aku
terperanjat, Rabbana… Dik apa kamu sekarang tidak bisa melihatku ? kamu
tersenyum dan berkata, “Kak, afwan kalo bicara suaranya di kencengin yah, aku sudah
tidak bisa melihat dan mendengar lagi.”
Tubuhku bergetar, aku tahu wajahku pucat
pasi saat itu, aku pun tak bisa membendung tumpahnya air mataku, aku menangis.
Para akhwat menarikku menjauh darimu. Dalam pelukan akwat, aku tumpahkan segala
rasaku, sedihku, penyesalanku, dan ketakutanku… aku takut kau tak mampu
bertahan dik… sungguh aku sangat takut kehilanganmu.
Tiba-tiba kamu tidak sadarkan diri, tak
lama kemudian kamu siuman lagi, begitu seterusnya…
Allah, kurasakan aroma sakaratul maut semakin dekat di ruangan ini… ku raih tangan ringkihmu.. inilah tangan yang dulu sering memelukku dari belakang, menutup mataku dan menyuruhku menebak siapa dia, dan tentu saja aku tahu, tak ada tangan yang segemuk punyamu dik, saat aku menjawab, “Pasti si roti donat” kamu tertawa… tapi kini tangan itu tak mampu bergerak lagi… Aku usap air mata di pipimu dik, kamu menangis, apakah kamu merindukanku, merindukan kami saudaramu, yang telah melupakanmu ? sudihkah kau memaafkan kami dik ?
Allah, kurasakan aroma sakaratul maut semakin dekat di ruangan ini… ku raih tangan ringkihmu.. inilah tangan yang dulu sering memelukku dari belakang, menutup mataku dan menyuruhku menebak siapa dia, dan tentu saja aku tahu, tak ada tangan yang segemuk punyamu dik, saat aku menjawab, “Pasti si roti donat” kamu tertawa… tapi kini tangan itu tak mampu bergerak lagi… Aku usap air mata di pipimu dik, kamu menangis, apakah kamu merindukanku, merindukan kami saudaramu, yang telah melupakanmu ? sudihkah kau memaafkan kami dik ?
Aku mendekatkan bibirku ke telingamu,
aku tak tahu apakah saat itu kau sadar atau tidak. Aku bisikkan kalimatullah.
Aku menuntunmu menyebut nama-Nya “Laa Ilaaha illallaah…laa Ilaaha illallah…”
bibirmu bergerak dan aku mendengarmu berkata “Allah…Allah..” Rabbana inikah
sakaratul maut… sesakit inikah…??? Ya Rabbal izzati… Allahummagfirlahu,
Allahummarhamhu… Ampunilah dia, Rahmatilah dia…Aku baru selesai shalat subuh,
yang kemudian aku lanjutkan dengan Al-Ma’tsurat dzikir pagi. Hari ini aku
berencana mengambil surat keterangan miskin untukmu, yang dijanjikan selesai
hari ini, aku sangat bersemangat. Kamu akan segera di rawat dik. Saat baru saja
aku hendak mandi, telepon berbunyi, ternyata dari ukhti Uni, mungkin dia
mengajak menjengukmu lagi, tentu saja aku mau, tapi aku salah, berita yang aku
terima sungguh sangat membuatku terguncang.. “Ukhti, adik kita Diana… Innalillahi
wa innailaihi Rojiun”
Aku tak mau berburuk sangka ” Uni, kamu
ngomong apa sih ? ada apa ? ngomongnya jangan nangis gitu dong…?” kataku
mencoba menenangkan diri .
“Diana ukh, dia sudah nggak ada, dia
meninggal tadi malam jam 01.00, kita doakan yah.. nanti kita sama-sama melayat
ke rumahnya” Rabbana… aku terdiam, tak mampu berkata-kata, serasa ada benjolan
besar di tenggorokanku yang siap meledak, aku terdiam, tak ku hiraukan uni yang
terus memanggilku dan terus menyuruhku bersabar.. aku terduduk.. menangis.. aku
tumpahkan segala kesedihanku, penyesalanku, keacuhanku, ketakpedulianku,
keegoisanku…
Wajahmu terus berkelabat dalam benakku,
senyummu, tawamu, manjamu, semangatmu… aku terus menangis…
Baru saja jenazahmu di bawa dari
rumahmu. Ibumu sejak tadi tak sadarkan diri. Kakakmu yang kamu bilang
membencimu ternyata sangat mencintaimu, dia yang merawatmu selama kamu sakit.
Dik, begitu banyak orang yang datang melayatmu, menghantar jenazahmu,
mensholatimu.. .aku hanya bisa diam menatap iringan membawamu ke tempat pembaringanmu
meninggalkan kami…
Dik, kakak tak mampu menemanimu lagi
seperti dulu, tak akan ada lagi telepon-teleponmu dan smsmu yang kini dan
hingga kini ku rindukan dan selalu ku nanti tapi aku tahu hanya akan berbalas
kesedihan. Tak ada lagi coklat-coklat kejutan rasa cintamu pada kami… Tak ada
lagi cerita-ceritamu tentang masalah-masalahmu yang kini dan hingga kini selalu
ku nantikan dan ku tahu hanya berbalas kecewa.
Dik, maafkan kakak, Semoga kau tenang
disana, semoga kau dapat menahan himpitan kubur yang kita semua akan
merasakannya. Rabbana… Lapangkanlah kuburnya, terangilah dengan cahaya-Mu,
jauhkanlah dia dari adzab kubur… Bukakanlah pintu jannah-Mu, sungguh dia adalah
mujahidah-Mu, dia adalah tentara yang memperjuangkan agama-Mu..
Ku tahu saat ini begitu banyak dari kami
menangisi kepergianmu mujahidah, namun aku pun yakin, ribuan penduduk langit
bersorak menyambut kedatanganmu dan ribuan malaikat menaungimu dalam hamparan
sayapnya… dalam kedamaian di sisi Rabbmu… Pergilah adikku… kakak ridho..
“Kak, apa aku juga bisa disebut
mujahidah ? aku kan tidak berperang” …tertawa…
“Tentu saja dik, setiap orang yang
memperjuangkan agama Allah dan mati dalam keyakinan pada-Nya adalah seorang
mujahid-mujahidah.” …
“Kak, aku mau berjilbab lebar seperti
kakak, pantas nggak yah? aku kan gendut…?” …katamu tersenyum malu…
“Kau akan sangat cantik dengan busana
syar’i dik, masih adakah yang lebih penting dari kecantikan di mata Allah…?”
….Kau tertawa…
“Aku mauuuuu cantiiik di mata Allah…”
…Tertawa riang….
Tags : ceritakisah islami, kisah islam, sejarah nabi muhammad, cerita cerita nyata, cerita islam, kisah islami, kisah cerita islam, cerita islami, kisah mengharukan cinta, teladan islam, kisah nyata islami, kisah inspiratif islami, kisah inspirasi islami, kisah teladan islam, kisah hikmah islami, cerita nabi, kisah kisah islami, kisah anak islami, cerita cerita nabi, cerita kisah nabi, cerita sejarah nabi, teladan islam, kisah teladan, kisah islam, kata kata mutiara, kata mutiara mutiara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar