Laman

Teladan Islam | Hukum Oral Seks Dalam Islam

Teladan Islam | Hukum Oral Seks Dalam Islam

Ada beberapa teman yang bertanya tentang hukum oral seks kepada saya. Mungkin masalahnya kurang enak dibahas, tetapi karena banyaknya teman yang belum memahami masalah ini, saya berusaha mempelajarinya. Dan setelah dipelajari, ternyata memang harus dishare kepada sesama muslim.

Beberapa pendapat ulama tentang hukum oral seks :


.....

Mengenai hukum oral seks (jika yang dimaksud adalah mencium kemaluan pasangan saat berhubungan) diperselisihkan oleh para ulama. Ulama Hambali membolehkan mencium kemaluan istri sebelum jima’, namun dimakruhkan jika dilakukan setelah itu. Hal ini yang disebutkan dalam kitab Kasyful Qona’, salah satu buku fikih madzhab Hambali. Yang bermasalah,  jika yang dicium adalah kemaluan yang sudah terdapat najis seperti kencing dan madzi.

Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al Jibrin ditanya, “Bolehkah seorang wanita mencium kemaluan suaminya, begitu pula sebaliknya?”

Jawab beliau rahimahullah, “Hal ini dibolehkan, namun dimakruhkan. Karena asalnya pasutri boleh bersenang-senang satu dan lainnya, menikmati seluruh badan pasangannya kecuali jika ada dalil yang melarang. Boleh antara suami istri menyentuh kemaluan satu dan lainnya dengan tangannya dan memandangnya. Akan tetapi, mencium kemaluan semacam itu tidak disukai oleh jiwa karena masih ada cara lain yang lebih menyenangkan.” (Fatawa Syaikh Ibnu Jibrin, 100: 13, Asy Syamilah)

Syaikh Musa Hasan Mayan (anggota Markaz Dakwah dan Bimbingan Islam di kota Madinah KSA, murid Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin dan Syaikh Ibnu Baz) ditanya, “Apa hukum mencium kemaluan pasutri satu dan lainnya?”

Jawab beliau hafizhohullah, “Tidak mengapa melakukan seperti itu. Seorang pria boleh saja bersenang-senang dengan istrinya dengan berbagai macam cara, ia boleh menikmati seluruh tubuhnya selama tidak ada dalil yang melarang. Namun tidak boleh ia menyetubuhi istrinya di dubur dan tidak boleh berhubungan seks dengan istrinya di masa haid. Sedangkan mencium kemaluan pasangannya, tidak ada masalah. Itu adalah tambahan dari yang dihalalkan karena tidak ada dalil yang mengharamkan, syari’at pun mendiamkannya. Sehingga oral seks semacam itu kembali ke hukum asal yaitu boleh. Yang menyatakan haramnya harus mendatangkan dalil, namun sebenarnya tidak ada dalil yang melarang perbuatan semacam ini. Kebenaran adalah di sisi Allah.

Kebanyakan ulama terdahulu dan belakangan membolehkan suami menghisap payudara istrinya walaupun sampai ia meminum susunya. Mengenai hal ini tidaklah haram menurut pendapat yang lebih kuat. Karena yang bisa menjadikan mahram(haram untuk dinikahi) adalah persusuan pada bayi sampai ia berusia dua tahun. Jika menghisap payudara istri saja boleh, maka tentu saja boleh mencium kemaluan sesama pasangan.

Adapun ulama belakangan –semoga Allah beri taufik pada mereka- yang melarang perbuatan ini beralasan karena kemaluan adalah tempat keluarnya najis seperti kencing. Maka tentu saja seperti itu tidak boleh dicium. Alasan seperti ini cukup disanggah bahwa yang dimaksud boleh mencium kemaluan adalah ketika keadaan suci, bukan ketika telah keluar najis. Karena jika sudah ada najis, tentu wajib dibersihkan (istinja’) dan dicuci. Jika sudah dicuci dan telah berwudhu, tentu keadaannya Allah terima sebagai bagian tubuh yang suci.

Ulama lainnya melarang keras perbuatan ini karena termasuktasyabbuh (meniru-niru) gaya seksual barat atau non muslim dan meniru binatang.

Kesimpulan :

Hukum asal dari suatu mu’amalah adalah mubah (boleh) kecuali ada dalil yang melarangnya, dan di dalam Al Quran dan Sunnah tidak ada dalil yang melarang oral seks, sehingga hukum oral sex pada dasarnya mubah (boleh) apabila suci dan bebas penyakit. Kegiatan sexual itu sendiri adalah fitrah manusia seperti halnya makan dan minum dan memang menyerupai binatang dan orang non muslim. Yang harus diperhatikan adalah larangan-larangan yang berhubungan dengan oral sex, yaitu:

A. Kemaluan pasangan bebas dari NAJIS.
Barang yang haram belum tentu najis, tetapi barang najis diharamkan untuk disentuh, diminum ataupun dimakan, seperti :

1. Air Kencing
Mengenai najisnya kotoran manusia ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Jika salah seorang di antara kalian menginjak kotoran (al adza) dengan alas kakinya, maka tanahlah yang nanti akan menyucikannya.” (HR. Abu Daud no. 385. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini shahih).

2. Kotoran (tinja) Manusia
Al adza (kotoran) adalah segala sesuatu yang mengganggu yaitu benda najis, kotoran, batu, duri, dsb. Yang dimaksud al adza dalam hadits ini adalah benda najis, termasuk pula kotoran manusia. Selain dalil di atas terdapat juga beberapa dalil tentang perintah untuk istinja’ yang menunjukkan najisnya kotoran manusia.(Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/71).

Sedangkan najisnya kencing manusia dapat dilihat pada hadits Anas,

“(Suatu saat) seorang Arab Badui kencing di masjid. Lalu sebagian orang (yakni sahabat) berdiri. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Biarkan dan jangan hentikan (kencingnya)”. Setelah orang badui tersebut menyelesaikan hajatnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas meminta satu ember air lalu menyiram kencing tersebut.”(HR Muslim)

Shidiq Hasan Khon rahimahullah mengatakan, “Kotoran dan kencing manusia sudah tidak samar lagi mengenai kenajisannya, lebih-lebih lagi pada orang yang sering menelaah berbagai dalil syari’ah.”(Lihat Ar Roudhotun Nadiyah, 1/22)

3. Madzi dan Wadi
Wadi adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing pada umumnya, berwarna putih, tebal mirip mani, namun berbeda kekeruhannya dengan mani. Wadi tidak memiliki bau yang khas.

Sedangkan madzi adalah cairan berwarna bening, tipis, lengket, keluar ketika bercumbu rayu dan syahwat memuncak, atau ketika membayangkan jima’ (bersetubuh) atau ketika berkeinginan untuk jima’. Madzi tidak menyebabkan lemas dan terkadang keluar tanpa terasa yaitu keluar ketika muqoddimah syahwat. Laki-laki dan perempuan sama-sama bisa memiliki madzi, wanita biasanya ditakan sudah basah.

Hukum madzi adalah najis sebagaimana terdapat perintah untuk membersihkan kemaluan ketika madzi tersebut keluar. Dari ‘Ali bin Abi Thalib, beliau radhiyallahu‘anhu berkata,
“Aku termausk orang yang sering keluar madzi. Namun aku malu menanyakan hal ini kepada Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam dikarenakan kedudukan anaknya (Fatimah) di sisiku. Lalu aku pun memerintahkan pada Al Miqdad bin Al Aswad untuk bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau memberikan jawaban pada Al Miqdad, “Perintahkan dia untuk mencuci kemaluannya kemudian suruh dia berwudhu”.”(Muttafaqqun alaihi)

Hukum wadi juga najis. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,

“Mengenai mani, madzi dan wadi; adapun mani, maka diharuskan untuk mandi. Sedangkan wadi dan madzi, Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Cucilah kemaluanmu, lantas berwudhulah sebagaimana wudhumu untuk shalat.” (Riwayat al-b aihaqi dgn sanad yang shahih).

4. Darah Haidh
Dalil yang menunjukkan hal ini, dari Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata, “Seorang wanita pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata,

“Di antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang harus kami perbuat?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

“Gosok dan keriklah pakaian tersebut dengan air, lalu percikilah. Kemudian shalatlah dengannya.” (Muttafaqun’alaihi).

Shidiq Hasan Khon rahimahullah mengatakan, “Perintah untuk menggosok dan mengerik darah haidh tersebut menunjukkan akan kenajisannya.” Ar Roudhotun Nadiyah, hal. 30.

Apabila pasangan laki-laki atau perempuan mempunyai penyakit di mulut atau di kemaluannya maka hal ini diharamkan. Misal ada sariawan atau jamur, keputihan, gonorhoe (kencing nanah) yang sedang diderita pasangan akan menularkan kepada pasangannya. Karena mengingat sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Tidak boleh memulai memberi dampak buruk (mudhorot) pada orang lain, begitu pula membalasnya.” (HR. Ibnu Majah no. 2340, Ad Daruquthni 3: 77, Al Baihaqi 6: 69, Al Hakim 2: 66. Kata Syaikh Al Albani hadits ini shahih).

Tetapi apabila pasangan telah bersuci dan bebas dari penyakit, yang perlu diperhatikan adalah dalam keadaan syahwat yang meningkat, maka madzi akan keluar, baik laki-laki maupun perempuan, dan madzi adalah najis. Sehingga apabila telah keluar madzi (biasa dikatakan basah) maka diharamkan untuk oral sex.

Semoga Bermanfaat!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar