Khalid
duduk di ruang kerjanya dengan pikiran yang diliputi kesedihan dan
kegalauan. Shaleh, kawannya, memperhatikan kegalauan dan kesedihan
itu di wajahnya. Ia berdiri dari mejanya dan mendekati Khalid, lalu
berkata padanya:
“Khalid,
kita ini berteman layaknya bersaudara sejak sebelum kita sama-sama
bekerja. Aku perhatikan sejak seminggu ini selalu termenung, tidak
konsentrasi. Engkau kelihatan begitu galau dan bersedih…”
Khalid
terdiam sejenak. Kemudian ia berkata:.....
“Terima
kasih atas kepedulianmu, Shaleh…Aku merasa memang membutuhkan
seseorang yang dapat mendengarkan masalah dan kegelisahanku,
barangkali itu bisa membantuku untuk mencari jalan keluarnya…”
Khalid
memperbaiki duduknya, lalu menuangkan segelas teh kepada kawannya,
Shaleh. Kemudian ia berkata lagi:
“Masalahnya,
wahai Shaleh, seperti yang engkau tahu aku sejak menikah 8 bulan
lalu, aku dan istriku tinggal sendiri di sebuah rumah. Namun
masalahnya adikku yang paling kecil, Hamd, yang berusia 20 tahun baru
saja menyelesaikan SMA-nya dan diterima disalah satu Universitas di
sini. Dia akan datang satu atau dua minggu lagi untuk memulai
kuliahnya. Ayah dan ibuku memintaku bahkan mendesakku agar Hamd dapat
tinggal bersamaku di rumahku daripada ia harus tinggal di asrama
mahasiswa bersama teman-temannya. Mereka takut nanti dia terseret
mengikuti kawan-kawannya!
Aku
menolak hal itu, karena kamu tahu kan bagaimana seorang pemuda yang
sedang puber seperti itu. Keberadaannya di rumahku akan menjadi
bahaya besar. Kita semua sudah melewati masa remaja seperti itu. Kita
tahu betul bagaimana kondisinya. Apalagi aku terkadang keluar dari
rumah, sementara ia akan tetap berada di kamarnya. Mungkin juga aku
pergi untuk beberapa hari untuk urusan pekerjaan…dan banyak lagi…
Aku
harus pula sampaikan padamu bahwa aku sudah menanyakan kepada salah
seorang Syekh terkait masalah ini, dan beliau mengingatkanku untuk
tidak mengizinkan siapapun, meski itu saudaraku sendiri untuk tinggal
bersamaku dan bersama istriku di rumah. Beliau mengingatkanku tentang
sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Ipar
itu adalah maut.”
Maksudnya
bahwa hal paling berbahaya bagi seorang istri adalah kerabat-kerabat
dekat sang suami, seperti saudara dan pamannya, karena mereka
biasanya dengan mudah masuk ke dalam rumah. Dan tidak ada yang
meragukan bahwa fitnah yang sangat besar dan berbahaya dapat terjadi
di sini.
Lagi
pula, engkau pasti tahu, wahai Shaleh, kita seringkali ingin berdua
saja dengan istri di rumah agar kita bisa beristirahat bersamanya
dengan selapang-lapangnya. Dan ini sudah pasti tidak bisa terwujud
jika adikku, Hamd, tinggal bersama kami di rumah…”
Khalid
terdiam sejenak. Ia meneguk teh yang ada di depannya. Kemudian ia
melanjutkan kembali ucapannya:
“Aku
sudah menjelaskan semuanya kepada ayah dan ibuku. Bahkan aku
bersumpah bahwa yang aku inginkan adalah kebaikan untuk adikku, Hamd.
Namun mereka justru marah kepadaku, mereka menyerangku di depan semua
keluarga, menganggapku sudah durhaka, bahkan menyebutku berprasangkaburuk kepada adikku, padahal ia menganggap istriku seperti kakaknya
sendiri. Mereka mengira aku dengki pada adikku karena aku tidak
menghendaki ia melanjutkan pendidikan tingginya…”
“Yang
lebih berat dari itu semua, wahai Shaleh, adalah karena ayahku telah
mengancamku dengan mengatakan bahwa ini akan menjadi citra buruk dan
aib besar di tengah keluarga, karena bagaimana adikku bisa tinggal
bersama orang lain sementara rumahku ada. Ayahku mengatakan: ‘Demi
Allah, jika Hamd tidak tinggal bersamamu, aku dan ibumu akan marah
padamu hingga kami mati. Kami tidak pernah mengenalmu sejak hari ini,
dan kami akan berlepas diri darimu di dunia sebelum di akhirat…”
Khalid
menundukkan kepalanya sejenak, lalu kembali berujar:
“Sekarang
aku sungguh bingung tidak tahu berbuat apa. Dari satu sisi, aku ingin
menyenangkan hati ayah dan ibuku, tapi di sisi lain aku tidak ingin
mengorbankan kebahagiaan keluargaku. Nah, sekarang bagaimana
pandanganmu, wahai Shaleh, terhadap masalah yang sangat berat ini?”
Shaleh
memperbaiki duduknya. Ia kemudian mengatakan:
“Tentu
engkau ingin mendengarkan pendapatku sejelas-jelasnya dalam masalah
ini, bukan? Karenanya izinkan aku untuk mengatakan kepadamu, wahai
Khalid, bahwa engkau benar-benar seorang peragu dan bimbang. Sebab
jika tidak begitu, untuk apa semua persoalan dan masalah ini terjadi
bersama kedua orang tuamu? Bukankah engkau tahu bahwa ridha Allah itu
bergantung pada ridha kedua orang tua, begitu pula kemurkaan-Nya
bergantung pada kemurkaan mereka berdua? Lagi pula jika adikmu
tinggal serumah denganmu, ia akan membantumu menyelesaikan urusan
rumah. Dan ketika engkau tidak ada di rumah untuk suatu urusan, ia
akan menjaga rumahmu selama engkau pergi.
Shaleh
sengaja diam sebentar. Ia ingin melihat bagaimana reaksi Shaleh
terhadap apa yang diucapkannya. Kemudian ia melanjutkan dengan
mengatakan:
“Lagi
pula aku ingin bertanya padamu: mengapa engkau berburuk sangka pada
adikmu sendiri? Apa kamu lupa Allah melarang kita berburuk sangka
kepada orang lain? Coba katakan padaku: bukankah engkau percaya
dengan istrimu? Bukankah engkau percaya kepada adikmu?”
Khalid
segera memotongnya:
“Aku
percaya kepada istriku dan juga adikku, tapi…”
“Kita
kembali lagi menjadi ragu dan percaya pada praduga-praduga…,”
potong Shaleh. “Percayalah, wahai Khalid, adikmu Hamd akan menjadi
penjaga yang amanah untuk rumahmu, baik ketika engkau ada ataupun
tidak. Ia tidak mungkin akan mengganggu istri kakaknya karena ia
sudah menganggapnya seperti kakaknya. Dan coba tanyakan pada dirimu
sendiri, wahai Khalid, jika adikmu Hamd kelak menikah, apakah engkau
sempat berpikir untuk mengganggu istrinya? Aku yakin jawabnya tidak,
bukan?
Lalu kenapa engkau harus kehilangan ayahmu, ibumu dan saudaramu? Keluargamu akan berpecah hanya karena praduga-praduga seperti itu? Gunakanlah akal sehatmu. Buatlah ayah dan ibumu ridha agar Allah juga ridha pada-Mu. Dan jika engkau setuju, biarlah adikmu Hamd, tinggal di bagian depan dari rumahmu, kemudian kuncilah pintu pemisah antara bagian depan rumahmu dengan ruangan-ruangan lain.”
Lalu kenapa engkau harus kehilangan ayahmu, ibumu dan saudaramu? Keluargamu akan berpecah hanya karena praduga-praduga seperti itu? Gunakanlah akal sehatmu. Buatlah ayah dan ibumu ridha agar Allah juga ridha pada-Mu. Dan jika engkau setuju, biarlah adikmu Hamd, tinggal di bagian depan dari rumahmu, kemudian kuncilah pintu pemisah antara bagian depan rumahmu dengan ruangan-ruangan lain.”
Khalid
akhirnya bisa menerima penjelasan kawannya, Shaleh. Di hadapannya, ia
tidak punya pilihan selain menerima adiknya, Hamd untuk tinggal
bersamanya di rumahnya.
Beberapa
hari kemudian, Hamd pun tiba. Khalid menjemputnya di bandara. Mereka
kemudian meluncur menuju rumah Khalid di mana Hamd akan menempati
bagian depannya. Dan seperti itulah yang terjadi selanjutnya…
Hari
demi hari terus berganti. Ia bergulit mengikuti ketentuan yang telah
ditetapkan oleh Allah. Dan kini kita telah berada di empat tahun
setelah perisitiwa itu…
Kini
Khalid telah genap berusia 30 tahun. Ia telah menjadi ayah bagi tiga
orang anak. Sementara Hamd kini telah memasuki tahun terakhir
perkuliahannya. Ia sudah hampir menyelesaikan kuliahnya di
Universitas. Kakaknya, Khalid telah berjanji untuk mengupayakan
pekerjaan yang layak untuk adiknya di Universitas itu, dan
membolehkannya tetap tinggal di rumah itu hingga ia menikah dan
pindah dengan istrinya ke rumah tersendiri.
Pada
suatu malam, ketika Khalid baru saja pulang ke rumahnya dengan
mengendarai mobilnya…Ia melintas di jalan yang bertepian dengan
rumahnya. Tiba-tiba dari jauh ia melihat seperti dua sosok hitam di
pinggir jalan. Ketika ia mendekat, ternyata seorang ibu tua dengan
seorang gadis yang terbaring di tanah menangis kesakitan. Sementara
sang ibu tua itu terus berteriak meminta tolong:
“Tolong!!
Toloooong kami!”
Khalid
sungguh heran dengan pemandangan itu. Rasa ingin tahunya mendorongnya
untuk mendekat lebih dekat lagi dan bertanya mengapa mereka berdiri
di pinggir jalan seperti itu.
Ibu
tua itupun menceritakan padanya bahwa mereka bukanlah penduduk kota
itu. Mereka baru sepekan saja berada di situ. Mereka tidak mengenal
siapapun di sini, dan bahwa gadis itu adalah anaknya, suaminya sedang
pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Dan sekarang si anak itu
mengalami sakit melahirkan sebelum waktunya. Anaknya hampir mati
karena rasa sakit yang luar biasa itu, sementara mereka tidak
menemukan seorang pun yang dapat mengantar mereka ke rumah sakit.
Ibu
tua itu meminta tolong dan memohon-mohon padanya sembari mengucurkan
air mata: “Tolonglah, aku akan mencium kedua kakimu….bantulah aku
dan anakku ke rumah sakit terdekat! Semoga Allah menjagamu, istrimu
dan anak-anakmu dari semua musibah.”
Air mata ibu tua dan erangan kesakitan gadis itu membuatnya terenyuh. Ia benar-benar merasa kasihan. Dan karena dorongan untuk membantu orang kesulitan, ia pun setuju untuk membawa mereka ke rumah sakit terdekat. Ia segera menaikkan mereka ke mobilnya, dan secepatnya meluncur ke rumah sakit terdekat. Sepanjang perjalanan, ibu tua itu tidak putus-putusnya mendoakan kebaikan dan keberkahan untuk Khalid dan keluarganya.
Tidak lama kemudian, mereka pun sampai ke rumah sakit. Setelah menyelesaikan urusan administrasinya, gadis itu kemudian dimasukkan ke dalam ruang operasi untuk menjalani operasi cesar, karena ia tidak mungkin melahirkan secara normal.
Air mata ibu tua dan erangan kesakitan gadis itu membuatnya terenyuh. Ia benar-benar merasa kasihan. Dan karena dorongan untuk membantu orang kesulitan, ia pun setuju untuk membawa mereka ke rumah sakit terdekat. Ia segera menaikkan mereka ke mobilnya, dan secepatnya meluncur ke rumah sakit terdekat. Sepanjang perjalanan, ibu tua itu tidak putus-putusnya mendoakan kebaikan dan keberkahan untuk Khalid dan keluarganya.
Tidak lama kemudian, mereka pun sampai ke rumah sakit. Setelah menyelesaikan urusan administrasinya, gadis itu kemudian dimasukkan ke dalam ruang operasi untuk menjalani operasi cesar, karena ia tidak mungkin melahirkan secara normal.
Karena
ingin berbuat baik, Khalid merasa kurang enak jika segera pergi dan
meninggalkan ibu tua itu bersama putrinya di sana sebelum ia merasa
yakin betul akan keberhasilan operasi itu dan bayi yang dikandungnya
keluar dengan selamat. Ia pun menyampaikan kepada ibu tua itu bahwa
ia akan menunggunya di ruang tunggu pria. Ia meminta pada ibu itu
untuk mengabarinya jika operasi itu selesai dan proses melahirkan itu
berhasil dengan selamat. Khalid kemudian menghubungi istrinya dan
menyampaikan bahwa ia akan sedikit terlambat pulang ke rumah. Ia
menenangkan istri bahwa ia baik-baik saja.
Khalid
pun duduk di ruang menunggu khusus pria. Ia menyandarkan punggungnya
ke tembok, dan kelihatannya ia sangat mengantuk. Ia pun tertidur
tanpa ia sadari. Khalid tidak pernah tahu berapa lama waktu berjalan
selama ia tertidur. Namun yang ia ingat betul adalah pemandangan yang
tidak akan pernah ia lupakan untuk selamanya…Ketika ia tiba-tiba
terbangun oleh suara dokter jaga dan dua petugas keamanan yang
mendekatinya, sementara si ibu tua tadi berteriak-teriak sambil
menunjuk ke arahnya: “Itu dia! Itu dia!!”
Khalid
sangat terkejut dengan kejadian itu. Ia berdiri dari tempat duduknya
dan segera mendatangi ibu tua itu, lalu berkata: “Apakah proses
kelahirannya berhasil, Bu?”
Dan sebelum ibu tua itu mengucapkan sesuatu, seorang petugas keamanan mendekatinya dan bertanya: “Anda Khalid?”
Dan sebelum ibu tua itu mengucapkan sesuatu, seorang petugas keamanan mendekatinya dan bertanya: “Anda Khalid?”
“Iya,
benar,” jawabnya.
“Kami
ingin Anda datang sekarang juga ke ruang kepala keamanan!” ujar
petugas itu.
Semuanya akhirnya masuk ke ruang kepala keamanan dan mengunci pintunya. Ketika itulah, ibu tua itu kembali berteriak dan memukul-mukul badannya sendiri. Ia mengatakan: “Inilah penjahat keji itu!! Aku harap kalian tidak melepaskan dan membiarkannya pergi! Duhai malangnya nasibmu, wahai putriku!”
Semuanya akhirnya masuk ke ruang kepala keamanan dan mengunci pintunya. Ketika itulah, ibu tua itu kembali berteriak dan memukul-mukul badannya sendiri. Ia mengatakan: “Inilah penjahat keji itu!! Aku harap kalian tidak melepaskan dan membiarkannya pergi! Duhai malangnya nasibmu, wahai putriku!”
Khalid
hanya bisa terkejut penuh kebingungan, tidak memahami apa yang sedang
terjadi di sekitarnya. Ia tidak sadar dari kebingungannya kecuali
setelah polisi itu mengatakan:
“Ibu
tua ini mengaku bahwa engkau telah berzina dengan putrinya. Engkau
telah memperkosanya hingga hamil. Lalu ketika ia mengancammu untuk
melaporkan ini pada polisi, engkau berjanji akan menikahinya. Namun
setelah melahirkan, kalian akan meletakkan anak bayi itu di pintu
salah satu masjid agar ada orang baik yang mau mengambilnya untuk
membawanya ke panti sosial!”
Khalid
benar-benar terkejut mendengarkan ucapan itu. Dunia menjadi gelap di
matanya. Ia tidak lagi bisa melihat apa yang ada di depannya.
Kalimat-kalimatnya tertahan di kerongkongannya. Hingga tiba-tiba saja
ia terjatuh, tidak sadarkan diri.
Tidak
lama kemudian, Khalid tersadar dari pingsannya. Ia melihat dua orang
petugas keamanan bersama di dalam ruangan itu. Seorang polisi khusus
yang ada di situ segera mengajukan pertanyaan untuknya:
“Khalid,
coba sampaikan yang sebenarnya. Karena kalau kami melihat sosokmu,
nampaknya engkau adalah seorang yang terhormat. Penampilanmu
menunjukkan bahwa engkau bukanlah pelaku yang melakukan kejahatan
seperti ini.”
Dengan
hati yang sangat hancur, Khalid mengatakan:
“Tuan-tuan,
apakah seperti ini balasan untuk sebuah kebaikan? Apakah seperti ini
kebaikan itu dibalas? Aku adalah seorang pria terhormat dan
baik-baik. Aku sudah menikah dan punya tiga orang anak: Sami, Su’ud
dan Hanadi. Dan aku tinggal di lingkungan baik-baik…”
Khalid
tidak bisa menguasai dirinya. Air matanya mengalir deras dari kedua
pelupuk matanya. Kemudian ketika ia mulai tenang, ia pun menceritakan
kisahnya dengan ibu tua dan putrinya itu secara lengkap.
Dan
ketika Khalid selesai menyampaikan informasinya, polisi itu berkata
padanya:
“Tenanglah!
Aku percaya bahwa engkau tidak bersalah. Tapi persoalannya adalah
semuanya harus berjalan sesuai prosedur. Harus ada bukti yang
menunjukkan ketidakbersalahanmu dalam masalah ini. Perkaranya sangat
mudah dalam kasus ini. Kami hanya akan melakukan beberapa pemeriksaan
laboratorium medis khusus yang akan menyingkap hakikat sebenarnya.”
“Hakikat
apa?” potong Khalid. “Hakikat bahwa aku tidak bersalah dan
seorang yang terhormat? Apakah kalian tidak mempercayaiku?”
Keesokan
paginya, selesailah pengambilan sampel sperma milik Khalid untuk
kemudian dibawa ke laboratorium untuk diperiksa dan diteliti. Khalid
duduk bersama polisi khusus di sebuah ruangan lain. Ia tak
putus-putusnya berdoa dan meminta kepada Allah agar menunjukkan apa
yang sebenarnya telah terjadi!
Kurang
lebih dua jam kemudian, datanglah hasil pemeriksaan tersebut.
Hasilnya sungguh mengejutkan. Pemeriksaan itu menunjukkan bahwa
Khalid sama sekali tidak bersalah dalam masalah ini. Itu sepenuhnya
adalah tuduhan dusta. Khalid tak kuasa menahan rasa gembiranya. Ia
bersujud kepada Allah sebagai ungkapan rasa syukurnya karena Ia telah
menunjukkan ketidakbersalahannya dalam kasus itu. Petugas polisi
itupun meminta maaf atas gangguan yang mereka munculkan. Kemudian si
ibu tua dan putrinya itupun ditangkap dan dibawa ke kantor polisi
untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Sebelum
meninggalkan rumah sakit, Khalid berusaha untuk berpamitan kepada
dokter spesialis yang telah melakukan pemeriksaan tersebut, karena
telah menjadi sebab kebebasannya dari tuduhan keji itu. Ia pun pergi
menemui sang dokter di ruangannya untuk berpamitan dan berterima
kasih. Namun dokter itu justru memberikan kabar kejutan padanya:
“Jika
Anda berkenan, saya ingin berbicara dengan Anda secara khusus
beberapa menit…”
Dokter
itu nampak agak gugup, lalu seperti berusaha mengumpulkan
keberaniannya ia berkata:
“Khalid, sebenarnya dari hasil pemeriksaan yang telah saya lakukan, saya khawatir Anda mengidap sebuah penyakit! Tapi saya belum bisa memastikannya. Karena itu saya harap Anda berkenan untuk melakukan beberapa pemeriksaan lagi untuk istri dan anak-anak Anda agar saya bisa memastikannya dengan yakin…”
“Khalid, sebenarnya dari hasil pemeriksaan yang telah saya lakukan, saya khawatir Anda mengidap sebuah penyakit! Tapi saya belum bisa memastikannya. Karena itu saya harap Anda berkenan untuk melakukan beberapa pemeriksaan lagi untuk istri dan anak-anak Anda agar saya bisa memastikannya dengan yakin…”
Dengan
perasaan dan raut wajah penuh keterkejutan dan kekhawatiran, Khalid
pun berkata:
“Dokter, tolong kabarkan pada apa yang sedang kuderita…aku rela menerima semua takdir Allah bagiku. Yang paling penting bagiku adalah anak-anakku yang masih kecil. Aku siap mengorbankan apa saja untuk mereka…”
“Dokter, tolong kabarkan pada apa yang sedang kuderita…aku rela menerima semua takdir Allah bagiku. Yang paling penting bagiku adalah anak-anakku yang masih kecil. Aku siap mengorbankan apa saja untuk mereka…”
Lalu
ia menangis tersedu-sedu. Dokter berusaha untuk menenangkannya dan
berkata:
“Sebenarnya
saya tidak bisa mengabari Anda sekarang sampai saya benar-benar yakin
dengan hal itu. Boleh jadi keraguanku tidak pada tempatnya. Tapi
segeralah bawa ketiga anakmu ke sini untuk pemeriksaan.”
Beberapa
jam kemudian, Khalid pun membawa istri dan anak-anaknya ke rumah
sakit itu. Selanjutnya mereka diperiksa dan diambil sampel-sampelnya
yang dibutuhkan untuk pemeriksaan laboratorium. Setelah itu, ia
membawa mereka pulang lalu ia kembali lagi ke rumah sakit untuk
menemui dokter itu lagi. Ketika mereka berdua sedang mengobrol,
tiba-tiba telefon genggam Khalid berbunyi. Ia mengangkatnya dan
berbicara kepada orang yang menelponnya beberapa menit.
Kemudian
setelah selesai, ia kembali melanjutkan pembicaraannya dengan dokter
yang mendahuluinya dengan pertanyaan: “Siapa orang yang padanya kau
sampaikan untuk tidak membongkar pintu apartemen itu?”
“Ia
adikku, Hamd. Ia tinggal bersama kami dalam satu apartemen. Ia telah
menghilangkan kuncinya dan memintaku untuk segera pulang agar dapat
membuka kunci pintu yang tertutup itu,” jawab Khalid.
“Sejak
kapan ia tinggal bersama kalian?” tanya dokter heran.
“Sejak
empat tahun yang lalu,” jawab Khalid. “Saat ini, ia sedang
menyelesaikan tahun terakhirnya di universitas.”
“Bisakah
engkau menghadirkannya pula besok untuk juga diperiksa? Kami ingin
memastikan apakah penyakit ini keturunan atau bukan?” tanya dokter.
“Dengan
senang hati, besok kami akan hadir ke sini bersama,” jawab Khalid.
Pada
waktu yang telah ditentukan, Khalid dan Hamd, adiknya, hadir di rumah
sakit. Dan akhirnya selesai pula pemeriksaan laboratorium terhadap
sang adik. Dokter kemudian meminta Khalid untuk menemuinya satu pekan
dari sekarang untuk mengetahui hasil akhirnya…
Sepanjang pekan itu, Khalid hidup dalam kegalauan dan kegelisahan. Pada waktu yang dijanjikan, Khalid pun datang pada minggu berikutnya. Dokter menyambutnya dengan hangat. Ia juga memesankan segelas lemon untuknya agar ia lebih tenang. Dokter mengawali penjelasannya dengan mengingatkan Khalid betapa pentingnya bersabar menghadapi musibah, dan memang demikianlah dunia itu!
Sepanjang pekan itu, Khalid hidup dalam kegalauan dan kegelisahan. Pada waktu yang dijanjikan, Khalid pun datang pada minggu berikutnya. Dokter menyambutnya dengan hangat. Ia juga memesankan segelas lemon untuknya agar ia lebih tenang. Dokter mengawali penjelasannya dengan mengingatkan Khalid betapa pentingnya bersabar menghadapi musibah, dan memang demikianlah dunia itu!
Khalid
memotong pembicaraan dokter itu dengan mengatakan:
“Tolong,
Dokter, Anda jangan membakar tubuhku lebih lama lagi. Aku sudah siap
untuk menanggung penyakit apapun yang menimpaku. Ini telah menjadi
takdir Allah untukku. Apa yang sebenarnya telah terjadi, Dokter?”
Dokter
itu menganggukkan kepalanya lau berkata:
“Seringkali,
hakikat yang sebenarnya itu begitu menyakitkan, keras dan pahit! Tapi
harus diketahui dan dihadapi! Sebab lari dari masalah tidak akan
menyelesaikannya dan tidak akan mengubah keadaan.
Dokter
itu terdiam sebentar. Lalu ia pun menyampaikan yang sebenarnya:
“Khalid,
mohon maaf, sebenarnya Anda itu mandul dan tidak bisa punya anak…,
Ketiga anak itu bukan anak Anda. Mereka adalah anak adik Anda, Hamd.”
Khalid
tidak mampu mendengarkan kenyataan pahit itu. Ia berteriak histeris
hingga teriakannya memenuhi penjuru rumah sakit. Lalu ia jatuh tak
sadarkan diri.
Dua
minggu kemudian, barulah ia sadar dari ketidaksadarannya yang
panjang. Namun ketika ia sadar, ia telah menemukan hidupnya hancur
berkeping-keping.
Khalid
mengalami stroke di setengah bagian tubuhnya. Kewarasannya hilang
akibat berita yang menyakitkan itu. Ia akhirnya dipindahkan ke rumah
sakit jiwa untuk melewati hari-harinya yang tersisa.
Adapun
istrinya, maka ia telah diserahkan kepada Mahkamah Syariat untuk
membenarkan pengakuannya lalu dihukum dengan hukum rajam hingga mati.
Sedangkan
adiknya, Hamd, ia sekarang berada di dalam penjara menunggu keputusan
hukum yang sesuai dengan kejahatannya.
Sedangkan
ketiga anak itu, mereka dipindahkan ke panti sosial untuk akhirnya
hidup bersama anak-anak yatim dan mereka yang dipungut dari jalanan.
Begitulah, sunnatullah berlaku: “Ipar itu adalah maut.”
“Dan
engkau tak akan menemukan perubahan pada ketentuan Allah.”
subhanallooh smg Alloh Swt melimpahkan Rohmad dan hidayahNya Panjenengan
BalasHapusSubhanallah bagus-bagus kalimat-kalimatnya ini, ijin share ya sobat. luar biasa, salam sukses dan salam kenal ya.
BalasHapus